Pagi
itu mendung
sudah datang dengan sangat rajin. ah aku harus berangkat lebih awal lagi nih.
batinku. maklum saja tempat tinggalku cukup jauh dengan tempat belajarku. dan
aku harus dengan rela menempuhnya dengan berjalan kaki.
ayahku
meninggal sejak aku kelas 2 sd. ibuku berjualan gorengan di pasar sebelah rumah
guna menyambung hidup dan membiayai aku dan 2 kakakku.
kakakku
yang pertama mbak ayu sudah menikah dan sekarang hidup dengan suaminya.
suaminya mas yoga seorang guru sd honorer. yang tahu sendiri gaji seorang guru
yang tak perlu kutulis atau ku goreskan dalam pena ini.
kakak
ke 2 ku mbak bela. juga sudah menikah dan juga sudah hidup dengan suaminya mas
amin. mas amin pengawai kelurahan. jangan dikira kampung tempatku tumbuh adalah
kampung yang sudah mendapat apresiasi dari kota. atau apalah namanya yang bisa
menjadikan kampungku masuk dalam kategori maju. kampungku terpencil. jauh dari
keramaian. dan gaji pegawai kelurahan bukan dari insentif pemerintah. melainkan
dari tanah atau sawah desa yang setiap pegawainya dijatah 1 petak sawah untuk
dikelolah sendiri yang hasilnya untuk menghidupi keluarga.
dan
aku. anak terakhir sendiri dengan merengek rengek pada ibu agar bisa melangkah
lebih maju dari kedua kakakku untuk dapat menempuh pendidikan 12 tahun. aku
mengabaikan pesan presiden yang mewajibkan sekolah 9 tahun. tapi aku minta
lebih.
alhasil
ibuku mengizinkan dengan konsekwensi hari ini yang ku hadapi. hujan yang tiada
mau pergi seakan ingin meruntuhkan sisa semangat yang setiap hari harus ku
pompa.
jarak
8 km yang harus ku tempuh dengan jalan kaki dan kondisi jalan yang sungguh ingin
ku perlihatkan pada bapak presiden yang terhormat. agar segera ada angin segar
dari ibukota untuk desa ku.
ci,
cepat gih makannya. ini sudah siang. ibu hari ini tidak ke pasar. dari tadi
malam hujan terus. uang sakumu kemarin masih ada kan? kemarin gorengannya masih
sisa banyak.
aku
menelan ludah. mendengar celotehan ibu. ah andai saja ayah masih ada. batinku.
cici!
cepat berangkat. teriak ibu dari arah dapur. aku tersentak. spontan aku
menghabiskan minumku lalu berlari ke arah ibuku.
cici
pamit bu. assalamualiaikum. kataku mencium tangan ibuku. bau bawang batinku.
nah
disinilah aku sekarang. mengenakan jas hujan peninggalan ayah. aku bertelanjang
kaki. sepatuku ku masukkan ke tas. aku tak rela air hujan membelai sepatu yang
baru dapat 3 bulan ku beli dengan menabung 6 bulan. aku berjalan menyusuri
jalan yang becek. maklum jalannya belum di aspal. ku percepat langkahku karena hujan
semakin deras. aku tidak mau berteduh. karena justru akan semakin menambah
waktu keterlambatanku.
ci!
cici! tunggu.....
lila.
teman sekelasku yang berbeda desa dariku. berlari menghampiriku.
tumben
la kamu jalan kaki?
tanyaku
ketika ia berhasil menjajariku.
bannya
bocor. sungut lila..
kuperhatikan
ia. sepatu lila masih dipakai. dan ia tidak peduli jika sepatunya mencium
lumpur. dan jas hujannya bagus. bermotif bunga bunga warna pink. lila memang
tergolong agak mujur. bapaknya seorang mantri desa. dan ibunya mempunyai toko
kelontong yang lumayan besar di pasar tempat ibuku berjualan.
Keren, ceritanya tentang hujan... prok prok prok :)
BalasHapuslah kocak
Hapus