Kamis, 27 Februari 2014

KETIKA HUJAN TELAH BERHENTI

Pagi itu mendung sudah datang dengan sangat rajin. ah aku harus berangkat lebih awal lagi nih. batinku. maklum saja tempat tinggalku cukup jauh dengan tempat belajarku. dan aku harus dengan rela menempuhnya dengan berjalan kaki.
ayahku meninggal sejak aku kelas 2 sd. ibuku berjualan gorengan di pasar sebelah rumah guna menyambung hidup dan membiayai aku dan 2 kakakku.
kakakku yang pertama mbak ayu sudah menikah dan sekarang hidup dengan suaminya. suaminya mas yoga seorang guru sd honorer. yang tahu sendiri gaji seorang guru yang tak perlu kutulis atau ku goreskan dalam pena ini.
kakak ke 2 ku mbak bela. juga sudah menikah dan juga sudah hidup dengan suaminya mas amin. mas amin pengawai kelurahan. jangan dikira kampung tempatku tumbuh adalah kampung yang sudah mendapat apresiasi dari kota. atau apalah namanya yang bisa menjadikan kampungku masuk dalam kategori maju. kampungku terpencil. jauh dari keramaian. dan gaji pegawai kelurahan bukan dari insentif pemerintah. melainkan dari tanah atau sawah desa yang setiap pegawainya dijatah 1 petak sawah untuk dikelolah sendiri yang hasilnya untuk menghidupi keluarga.
dan aku. anak terakhir sendiri dengan merengek rengek pada ibu agar bisa melangkah lebih maju dari kedua kakakku untuk dapat menempuh pendidikan 12 tahun. aku mengabaikan pesan presiden yang mewajibkan sekolah 9 tahun. tapi aku minta lebih.
alhasil ibuku mengizinkan dengan konsekwensi hari ini yang ku hadapi. hujan yang tiada mau pergi seakan ingin meruntuhkan sisa semangat yang setiap hari harus ku pompa.
jarak 8 km yang harus ku tempuh dengan jalan kaki dan kondisi jalan yang sungguh ingin ku perlihatkan pada bapak presiden yang terhormat. agar segera ada angin segar dari ibukota untuk desa ku.
ci, cepat gih makannya. ini sudah siang. ibu hari ini tidak ke pasar. dari tadi malam hujan terus. uang sakumu kemarin masih ada kan? kemarin gorengannya masih sisa banyak.
aku menelan ludah. mendengar celotehan ibu. ah andai saja ayah masih ada. batinku.
cici! cepat berangkat. teriak ibu dari arah dapur. aku tersentak. spontan aku menghabiskan minumku lalu berlari ke arah ibuku.
cici pamit bu. assalamualiaikum. kataku mencium tangan ibuku. bau bawang batinku.
nah disinilah aku sekarang. mengenakan jas hujan peninggalan ayah. aku bertelanjang kaki. sepatuku ku masukkan ke tas. aku tak rela air hujan membelai sepatu yang baru dapat 3 bulan ku beli dengan menabung 6 bulan. aku berjalan menyusuri jalan yang becek. maklum jalannya belum di aspal. ku percepat langkahku karena hujan semakin deras. aku tidak mau berteduh. karena justru akan semakin menambah waktu keterlambatanku.
ci! cici! tunggu.....
lila. teman sekelasku yang berbeda desa dariku. berlari menghampiriku.
tumben la kamu jalan kaki?
tanyaku ketika ia berhasil menjajariku.
bannya bocor. sungut lila..

kuperhatikan ia. sepatu lila masih dipakai. dan ia tidak peduli jika sepatunya mencium lumpur. dan jas hujannya bagus. bermotif bunga bunga warna pink. lila memang tergolong agak mujur. bapaknya seorang mantri desa. dan ibunya mempunyai toko kelontong yang lumayan besar di pasar tempat ibuku berjualan.

2 komentar:

 
Copyright © . Cerita Fiksi Terbaru - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger