Senin, 10 Februari 2014

Risalah tujuh Neraka dan Sang Pemegang Kesucian

Tempat itu ada…….Adalah dunia di mana kita dapat tertawa… membiarkan kebahagiaan yang tak hentinya keluar di antara mulut-mulut yang terbuka…
Adalah dunia di mana kita merasa sedemikian aman dalam dekapan orang yang kita sayangi saat ketakutan muncul dalam hati…
Adalah dunia di mana kadang kita menangis… menangis tersendu dalam sunyinya suatu kesendirian…
Adalah dunia di mana kita belajar mencintai…
Adalah dunia di mana bahkan membenci seseorang pun terasa begitu indah…
Adalah dunia di mana kita begitu bebas ‘Hidup… dan mencintai…’
…..VLATERIIUM……
Sunyi...............................
Selain kesunyian yang merenggut ke segala penjuru, malam itu pun begitu gelap. awan hitam menggumpal sedemikian tebal menutup jutaan tabur bintang kota itu.
Fantasia... Itulah sebutan bagi kota dengan tingkat curah hujan paling tinggi di seisi Vlateriium.
Padat serta sibuknya penduduk Fantasia akan segera sirna ketika ujung senja menjamah kota itu…..
Seolah takut akan kegelapan, tak satu pun sisa-sisa dari aktivitas siang harinya tertinggal ketika matahari mulai bersembunyi.
Mungkin memang benar… mereka takut akan kegelapan malam… disebabkan oleh trauma mereka ketika suatu peristiwa mengerikan tentang kegelapan yang hamper saja merenggut kehidupan mereka beberapa tahun silam.
Begitu sedikitnya lampu-lampu jalan yang menyala menambah suramnya malam itu…
Dalam dekapan keheningan… ketika Guntur menyambar begitu keras,… dua orang berjubah putih berkerudung mereka terlihat menyusuri jalannan suram yang begitu minim cahaya. Keduanya mengambil langkah begitu pelan dengan tetap mempertahankan kesunyian mereka.
Sekejab cahaya dari lampu jalanan itu saling meredup… tak menghiraukannya kedua Jubah Putih itu terus melangkah.
Ujung jalanan yang begitu gelap terlihat seolah dihimpit oleh beberapa pohon beringin yang begitu mengerikan. Hingga ketika angin mencoba untuk saling menyusup di antara dedaunan lebatnya, suara gemersaknya sekejab mengusik keheningan.
Langkah keduanya lah yang mengusik keheningan ketika deru angin menjauh.
Dalam keheningan yang begitu mendekap erat itu… dari kejauhan mampu terdengar lolongan anjing yang begitu panjang dan mempersuram malam yang begitu gelap itu. Ketika perlahan lolongannya melemah, keheningan kembali menjamah tempat itu.
“Sebenarnya dimana Stewrd ingin kita menemuinya?...”
Suara dari seseorang berjubah putih itu lah yang kini mengusik keheningan.
“Yang pasti jauh dari tempat ini…”
Pria tua di balik Jubah Putihnya itu menjawab begitu pelan. Usianya berkisar 97 tahun dengan rambut putih kusamnya yang begitu tipis.
Kakek tua itu bernama Frankstein Lordezio Eight.
“Aku berharap ini benar-benar penting!...”
Suara Nenek tua berusia sekitar 94 tahun itu begitu melengking. Tubuhnya begitu kurus serta rambut kusamnya yang begitu panjang tersembunyi di balik Jubah Putihnya. Sebuah kacamata kusam berantai tergantung longgar di hadapan matanya.
Nenek tua itu bernama Zordius Snowlge.
Mereka terus melangkah begitu pelan dalam heningnya malam itu.
Ketika langkah pelan mereka itu mulai memasuki suatu perumahan yang begitu gelap serta suram, keheningan kembali pecah oleh anjing yang menyalak tak henti.
Angin mulai saling menderu begitu kencang beradu dengan suara anjing yang terus menyalak.
Langit yang begitu kelam mulai saling bergemuruh hingga dalam sekejap menurunkan hujan yang masih tergolong ringan ke segala penjuru Fantasia yang begitu kelam di malam hari.
Ketika dengan begitu keras petir menyambar… serta cahayanya yang sekilas menyinari kedua Jubah Putih itu, sekejap wujud mereka berdua sirna dalam cahaya petir yang juga musnah dalam kegelapan.
=================================================================================

Tempat ini tak kalah sunyi disbanding dengan kesunyian Fantasia malam itu. Langitnya yang penuh awan hitam begitu suram menjatuhkan butiran gerimisnya.
Angin saling beradu cepat untuk menyusup di antara dedaunan pohon yang mulai basah.
Lokasi ini begitu jauh dari suramnya Fantasia. Lokasi itu lah yang menjadi tujuan kedua Jubah Putih. Lokasi yang menjadi tujuan Pak Lordez serta Nenek Zord itu merupakan suatu hutan yang begitu gelap.
Di antara angin yang saling menyusup dalam dedaunan itu,… Di antara pepohonan hutan yang sedemikian sunyi itu,… langkah kaki seseorang terdengar begitu cepat hingga membuat heningnya malam itu semakin terusik.
Langkah kakinya terdengar semakin cepat ketika wujud Pak Lordez serta Nenek Zord terlihat di balik pepohonan.
“Pak Lordez!....” panggil seseorang berjubah putih dengan kerudungnya yang berlari di antara pepohonan hutan.
“Pak Lordez!....” panggil pria itu lagi dengan memperkeras teriakannya. Usianya berkisar 28 tahun, tubuhnya yang tegap it uterus berlari menyusup di antara pepohonan.
Sekilas dalam genggaman tangan kiri dia yang berlari memancarkan cahaya merah yang menyerupai bara api.
Pak Lordez serta Nenek Zord yang mampu mendengarnya menoleh terkejut ke arahnya.
“Steward!...” ucap Pak Lordez begitu lirih.
Stewrd yang berlari begitu tergesa itu terjatuh oleh akar pepohonan yang begitu besar tepat beberapa langkah di hadapan kedua Jubah Putih.
“Ada apa dengan mu?”
Kedua Jubah Putih itu mendekat serta membantu upaya Stewrd berdiri. Cahaya yang terus bersinar dalam genggaman lengan kirinya itu seolah terasa begitu menyakitkan oleh Steward.
Dalam nafasnya yang masih terengah-engah itu, ia mengibaskan lengan kirinya yang terasa semakin membakar genggamannya.
“Apa yang terjadi?... ada apa dengan mu?”
Suara Nenek Zord begitu melengking keras.
Seolah merasakan sesuatu yang melintas di belakangnya, Steward menoleh ke belakang dengan begitu terkejut. Akan tetapi hanya kekosongan yang ia temukan.
“Ada apa?...”
Steward yang mengacuhkannya menoleh curiga ke sekeliling tempat yang begitu gelap serta sunyi itu.
“Mereka mengikutiku… mereka disini… mereka mengawasi kita…”
Suara Stewrd begitu pelan disertai tatapannya yang berpust ke suatu arah.
Oleh hal itu Pak Lordez serta Nenek Zord mulai menoleh ke sekeliling.
“Karena itu cepatlah!... hal apa yang ingin kau smpaikan?...”
Kali ini suara Nenek Zord terkesan berbisik.
Steward memperdekat jaraknya terhadap kedua Jubah Putih itu dengan bisikan pelannya.
“Mereka kembali!...”
Petir dengan keras menyambar beriringan dengan angin yang mendesir semakin cepat hingga mengikut sertakan dedaunan yang terjatuh dari pohon dalam arusnya yang semakin cepat.
Mendengar bisikan Steward itu kedua Jubah Putih mengubah raut wajahnya.
“Apa?...apa maksudmu?”
“Atlanixta kembali!....”
Ucapan itu di akhiri dengan membuka genggaman tangan kirinya yang tak hentinya bercahaya merah.
Mampu terlihat di antara cahaya merah yang begitu terang beberapa guratan-guratan yang membentuk symbol Ankh dengan dua mata yang seolah menginta di balik simbal Ankh (ankh adalah salah satu symbol dalam mesir kuno yang berupa seperti salib). Seketika angin berhembus sedemikian kencang beriringan dengan munculnya suara bisikan-bisikan mengerikan yang saling beradu cepat dengan deru angin.
Akan hal itu Pak Lordez menoleh ke segala arah mengamati peristiwa itu dengan raut terkejutnya. Jubah putihnya itu tak henti berkibar oleh angin yang begitu kencang beserta bisikan-bisikan mengerikannya.
“Dari mana?... dari mana kau memperoleh symbol Atlanixta itu?”
Ia masih saja menoleh ke segala arah di ujung ucapannya tanpa berniat melirik Steward.
“Dari mana kau memperolehnya?...”
Kali ini ia bersedia menatap tajam Steward yang juga masih begitu terkejut oleh peristiwa itu.
Sesaat mereka membiarkan deru angin saling bebenturan dengan bisikan-bisikan mengerikan yang terus bermunculan.
“Saat dimana bulan sabit pertama kali muncul pada musim ini… saat itu aku tengah tertidur sebelum guncangan energy yang begitu kuat mampu kurasakan…”
Sesaat ucapannya terhenti ketika ia mampu mendengar suara berbisik yang begitu mengerikan di belakangnya.
“Lanjutkan!... jangan hiraukan apa pun itu!...”
Oleh ucapan Pak Lordez, Steward kembali menatap kedua Jubah Putih di hadapannya.
“Aku terbangun dan melangkah ke alam terbuka… saat itu gumpalan awan hitam sekejap menutup langit… sinar bulannya sontak memerah dan ketika awan hitam itu mampu menutupi bulan, sinar merahnya yang mampu menembus awan terlihat menyerupai symbol Atlanixta… guncangan energy yang terus terasa itu semakin kuat seiring munculnya lambang itu di awan. Aku mencoba menyusuri arah dari pusat guncangan energy itu hingga pada akhirnya aku sampai pada hutan ini.”
“Jadi kau mendapat symbol Atlanixta pada hutan ini?”
Dentuman yang tercipta oleh petir terdengar begitu keras hingga kilatan cahayanya sekilas menerangi mereka bertiga di antara deru angin yang tak jua usai.
“Tepatnya pada sebuah danau merah di tengah hutan ini…”
“Danau?...”
“Iya… ikuti aku! Akan ku tunjukkan!...”
Di akhir ucapannya ia mengambil langkah menuju pusat hutan yang terlihat lebih gelap dari tempat itu. Langkahnya begitu cepat di ikuti oleh kedua Jubah Putih.
Sekejap dalam tiadanya sinar yang menerangi tempat itu, meski begitu samar terlihatlah wujud sekelebatan bayangan hitam yang seolah berterbangan mengikuti mereka yang terus mempercepat langkahnya.
Dengan begitu keras petir kembali menyambar hingga sekilas cahayanya mengusir gelapnya malam itu.
Hujan yang begitu ringan itu perlahan mulai terasa deras. Seluruh dedaunan pada hutan yang begitu gelap kini telah sepenuhnya basah oleh air hujan kecuali dedaunan yang tersembunyi dalam rimbunnya hutan.
Langit tak hentinya bergemuruh akan tetapi petirnya masih saja enggan turun. Membiarkan kegelapan terus membelenggu seisi hutan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © . Cerita Fiksi Terbaru - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger