Minggu, 09 Maret 2014

BUNGA MATAHARI EMAS (part 2)

- 0 komentar
Akhirnya sunsine mengerjakan semua pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh bibi Nora. Mulai dari mencuci, mengepel, memasak sampai menyapu. Tapi tidak sedetik pun Sunsine mengeluh. Ia mengerjakannya dengan penuh suka cita. Tetangga – tetangga yang mengetahuinya semakin menyayangi Sunsine. Tak sedikit yang membantu pekerjaan Sunsine. Hal itu membuat ibu dan adik tirinya semakin membencinya.
Ibu, kalau begini terus dia akan semakin menjadi primadona di desa kita. Keluh Rosali pada Nyonya Roberta. Lihatlah ibu, semakin hari semakin banyak bunga yang dikirimkan ke Sunsine. Dan tak satupun bunga-bunga itu diperuntukkan padaku. Tambahnya.
Tenanglah sayang, bibi Nora besok sudah mulai bekerja. dan kau besok bisa menggantikan pekerjaan Sunsine. Biar orang-orang terkesima padamu. Saran nyonya Roberta. Ah ibu, aku tidak mau kalau harus menggantikan tugas Sunsine, nanti tanganku jadi kasar rajuk Rosali.


Kau ini, manja sekali. Kalau mau berhasil kamu harus berkorban sedikit gerutu nyonya Roberta. Karena tidak ada jalan lain, maka aku akan ambil jalan pintas. Lanjutnya.
Apa ibu? Tanya Rosali penuh ingin tahu. Kita lihat saja nanti. Jawab nyonya Roberta dengan senyum misterius.
Pada suatu hari, Sunsine sayang, kemarilah nak. Panggil nyonya Roberta. Sunsine heran tapi ia tetap menghampiri ibu tirinya.
Kau tahu kan, seminggu lagi ayahmu akan kembali. Kata nyonya Roberta dengan suara yang sangat ketus. Iya ibu. Jawab Sunsine.
Aku tahu bahwa kau sangat menyayangi ayahmu melebihi apapun di dunia ini. Betulkan?
Sunsine memandang ibu tirinya dengan was-was. maksud ibu?
Dan kau juga tahu bahwa ayahmu sangat percaya padaku melebihi dari siapapun. Lanjutnya.
Apa yang ibu inginkan dariku?tanya Sunsine dengan waspada.
Hahahaha… tawa nyonya Roberta menggema di dalam ruangan yang hanya ada dia dan Sunsine.
Kau gadis yang sangat pintar Sunsine. Dan aku yakin kau akan mengerti. Lanjutnya.
Dan kau juga tahu bahwa keselamatan ayahmu tergantung padaku.
Dengan muka merah padam menahan amarah, Sunsine menatap ibu tirinya. Selagi aku masih disini, tak kan ku biarkan kau melukai ayahku se inci pun. Ancam Sunsine.
Mendengar ibu nyonya Roberta tertawa keras sekali.
Oh aku takut sekali Sunsine ejek Nyonya Roberta. Kau hanya anak kecil yang sekali jentik saja dapat kulenyapkan geram Nyonya Roberta. Tapi aku akan berbaik hati padamu lanjutnya.
Kau harus pergi dari rumah ini jauh-jauh sebelum aku melenyapkanmu. Ancam nyonya Roberta.
Sunsine memandang ibu tirinya dengan tidak percaya. Aku tidak mau menuruti apa katamu. Ini rumahku. Seharusnya kau yang pergi dari sini jawab Sunsine. Aku bisa saja berteriak pada tetangga bahwa kau berbuat jahat padaku dan aku akan bilang pada mereka untuk dapat mengusirmu dari desa ini. Aku yakin orang-orang akan lebih percaya padaku dari pada kau nyonya Roberta yang terhormat. Ancam Sunsine lalu meninggalkan nyonya Roberta sendiri.

Kurang ajar. Geram nyonya Roberta. Ia tidak mengira bahwa ia berhadapan dengan gadis yang tidak biasa. Aku harus cari cara lain. Gumam nyonya Roberta.
[Continue reading...]

Kamis, 27 Februari 2014

KETIKA HUJAN TELAH BERHENTI

- 2 komentar
Pagi itu mendung sudah datang dengan sangat rajin. ah aku harus berangkat lebih awal lagi nih. batinku. maklum saja tempat tinggalku cukup jauh dengan tempat belajarku. dan aku harus dengan rela menempuhnya dengan berjalan kaki.
ayahku meninggal sejak aku kelas 2 sd. ibuku berjualan gorengan di pasar sebelah rumah guna menyambung hidup dan membiayai aku dan 2 kakakku.
kakakku yang pertama mbak ayu sudah menikah dan sekarang hidup dengan suaminya. suaminya mas yoga seorang guru sd honorer. yang tahu sendiri gaji seorang guru yang tak perlu kutulis atau ku goreskan dalam pena ini.
kakak ke 2 ku mbak bela. juga sudah menikah dan juga sudah hidup dengan suaminya mas amin. mas amin pengawai kelurahan. jangan dikira kampung tempatku tumbuh adalah kampung yang sudah mendapat apresiasi dari kota. atau apalah namanya yang bisa menjadikan kampungku masuk dalam kategori maju. kampungku terpencil. jauh dari keramaian. dan gaji pegawai kelurahan bukan dari insentif pemerintah. melainkan dari tanah atau sawah desa yang setiap pegawainya dijatah 1 petak sawah untuk dikelolah sendiri yang hasilnya untuk menghidupi keluarga.
dan aku. anak terakhir sendiri dengan merengek rengek pada ibu agar bisa melangkah lebih maju dari kedua kakakku untuk dapat menempuh pendidikan 12 tahun. aku mengabaikan pesan presiden yang mewajibkan sekolah 9 tahun. tapi aku minta lebih.
alhasil ibuku mengizinkan dengan konsekwensi hari ini yang ku hadapi. hujan yang tiada mau pergi seakan ingin meruntuhkan sisa semangat yang setiap hari harus ku pompa.
jarak 8 km yang harus ku tempuh dengan jalan kaki dan kondisi jalan yang sungguh ingin ku perlihatkan pada bapak presiden yang terhormat. agar segera ada angin segar dari ibukota untuk desa ku.
ci, cepat gih makannya. ini sudah siang. ibu hari ini tidak ke pasar. dari tadi malam hujan terus. uang sakumu kemarin masih ada kan? kemarin gorengannya masih sisa banyak.
aku menelan ludah. mendengar celotehan ibu. ah andai saja ayah masih ada. batinku.
cici! cepat berangkat. teriak ibu dari arah dapur. aku tersentak. spontan aku menghabiskan minumku lalu berlari ke arah ibuku.
cici pamit bu. assalamualiaikum. kataku mencium tangan ibuku. bau bawang batinku.
nah disinilah aku sekarang. mengenakan jas hujan peninggalan ayah. aku bertelanjang kaki. sepatuku ku masukkan ke tas. aku tak rela air hujan membelai sepatu yang baru dapat 3 bulan ku beli dengan menabung 6 bulan. aku berjalan menyusuri jalan yang becek. maklum jalannya belum di aspal. ku percepat langkahku karena hujan semakin deras. aku tidak mau berteduh. karena justru akan semakin menambah waktu keterlambatanku.
ci! cici! tunggu.....
lila. teman sekelasku yang berbeda desa dariku. berlari menghampiriku.
tumben la kamu jalan kaki?
tanyaku ketika ia berhasil menjajariku.
bannya bocor. sungut lila..

kuperhatikan ia. sepatu lila masih dipakai. dan ia tidak peduli jika sepatunya mencium lumpur. dan jas hujannya bagus. bermotif bunga bunga warna pink. lila memang tergolong agak mujur. bapaknya seorang mantri desa. dan ibunya mempunyai toko kelontong yang lumayan besar di pasar tempat ibuku berjualan.

[Continue reading...]

BUNGA MATAHARI EMAS (part 1 )

- 2 komentar
Dahulu kala, berdirilah kerajaan Aryoda. Yang dipimpin oleh raja yang adil dan bijaksana. Yang bernama raja Aryaweda. Negeri Aryoda terkenal dengan negeri yang damai sentosa. Dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Rakyatnya hidup berkecukupan dan tentram. Raja Aryaweda mempunyai putra yang bernama pangeran Aryamenara. Pangeran Aryamenara baru beranjak remaja. Namun sudah memperlihatkan bakat kepemimpinannya yang menurun dari ayahandanya raja Aryaweda. Disamping itu, pangeran Aryamenara mempunyai wajah yang rupawan dan berbudi pekerti luhur. Banyak kalangan bangsawan dan kerajaan tetangga yang ingin menjodohkan pangeran Aryamenara dengan putri – putri mereka. Tetapi raja Aryaweda menolak secara halus. Pangeran Aryamenara masih terlalu kecil dan masih membutuhkan pelajaran hidup untuk memimpin kerajaan nanti. Suatu desa terpencil yang jauh dari pusat ibukota kerajaan Aryoda, hiduplah seorang anak perempuan yang cantik jelita. Namun kecantikan gadis itu tertutup oleh penampilannya yang selalu bercadar. Nama gadis itu adalah Sunsine. Gadis itu hidup dengan dengan seorang ayah. Ibunya sudah lama meninggal ketika dia masih berumur 6 tahun. Sunsine tumbuh menjadi anak yang periang dan baik hati. Ayahnya yang seorang Saudagar memberikan dia kehidupan yang lebih dari cukup. Namun Sunsine tidak lupa untuk memberi pertolongan pada orang-orang disekitranya yang tidak mampu dan membutuhkan pertolongannya. Sunsine tumbuh menjadi remaja yang bersinar bak bunga matahari di pagi hari. Semua orang sangat menyayanginya. Karena kebaikan hatinya. Suatu hari, ayahnya tuan Mahesi memberitahu Sunsine bahwa ia akan menikah lagi. Sunsine gembira sekali mendengarnya. Apalagi tuan Mahesi bercerita bahwa ibu tirinya mempunyai seorang anak perempuan yang sebaya dengannya. Sejak dulu Sunsine menginginkan mempunyai saudara perempuan. Pada hari kedatangan ibu tiri dan adik tirinya tiba, Sunsine sudah mempersiapkan semuanya. Rumah sudah tertata rapi, bahkan Sunsine juga sudah menyuruh pelayan ayahnya untuk menyiapkan hidangan yang special untuk menyambut kedatangan mereka. Sunsine… anakku, lihatlah siapa yang datang. Teriak tuan Mahesi. Dengan bersemangat Sunsine menyambut kedatangan mereka. Ia mengulurkan tangan pada ibu tirinya yang disambut dengan senyum misterius. Oh inikah yang bernama Sunsine. Kata nyonya Roberta. Cantik sekali kau nak. Kenalkan ini adikmu. Namanya Rosali. Kata nyonya Roberta seraya menyikut anaknya yang bernama Rosali. Sekilas Sunsine melihat adiknya mendengus kesal tapi setelah itu tersenyum padanya. Halo kak Sunsine, namaku Rosali. Katanya seraya mengulurkan tangan pada Sunsine. Sunsine menerima uluran tangannya dengan gembira. Hari itu, Sunsine begitu bahagia ia bahagia karena mempunyai ibu baru dan juga mempunyai Saudara. Namun kebahagiaan itu hanya sesaat. Nyonya Roberta tidak sepenuh hati menganggap Sunsine sebagai anaknya. Dan Rosali sangat membenci Sunsine karena kecantikannya telah tertandingi oleh kecantikan Sunsine. Namun Sunsine belum menyadarinya. Karena mereka selalu bersikap baik pada Sunsine karena ada tuan Mahesi. Suatu pagi yang cerah, Sunsine,ayah akan berdagang ke Negeri seberang. Kata tuan Mahesi pada anaknya. Ayah harap kamu dapat menjaga ibu dan adik kamu dengan baik. Berapa lama ayah ? Tanya Sunsine. 2 bulan anakku. Jawab tuan Mahesi. Tuan Mahesi tak perlu khawatir, kan ada saya dan Rosali yang akan menemani Sunsine. Kata nyonya Roberta dengan senyum penuh arti. Aku percaya padamu Berta. Aku titip Sunsine padamu. Dia adalah bunga matahariku. Tolong jaga dia. Kata tuan Mahesi. Tuan Mahesi pun berangkat. Sunsine sedih karena ayahnya tidak pernah selama ini meninggalkannya. Entah kenapa hati Sunsine jadi resah. Namun keresahan itu ditepisnya. Sunsine. Hari ini kami mau jalan-jalan, kamu dirumah saja kata nyonya Roberta. Apakah saya boleh ikut ibu? Tanya Sunsine penuh harap. Ia ingin sekali berjalan-jalan. Tidak boleh, kamu harus bersih-bersih rumah jawab Rosali ketus. Tapi kan sudah ada bibi Nora adikku. Jawab Susnsine. Sunsine Sayang, Bibi Nora kusuruh ambil cuti seminggu. Jadi tugas bibi Nora semua kuserahkan padamu. Jawab nyonya Roberta kalem. Ta tapi, ibu. Kenapa bibi Nora cuti?tanya Sunsine bingung. Sudah jangan banyak Tanya. Aku ingin ketika pulang nanti rumah sudah bersih dan makan malam sudah tersaji. Bentak nyonya Roberta. Sunsine terdiam. Ia mulai menyadari ternyata ibu dan adik tirinya tidak benar-benar menyayanginya. Ia jadi ingat tatapan Rosali ketika ia menerima surat surat dan bunga bunga dari pemuda yang naksir padanya. Apa salahku? Batin Sunsine sedih. bersambung

[Continue reading...]

Selasa, 25 Februari 2014

Anak orang Kaya tapi Miskin

- 0 komentar
Anak kampung memang menjadi ejekan, namaku fahri orang-orang biasanya memanggilku dengan sebutan kampung, iya betul itulah sebutanku, aku hidup penuh dengan berkecukupan tapi orang tuaku tidak pernah memperhatikan aku masalah kejiwaan, orang tuaku peduli sekali tentang pendidikan bahkan sampai-sampai aku peringkat pertama di sekolahku.tapi walaupun peringkat pertama aku tidak pernah merasakan nikmatnya hidup seumuranku, teman-temanku setelah sekolah mereka rata-rata bermain dihalamannya masing-masing tapi aku hanya melihat dibalik jeruji kaca rumah yang tebal dengan meneteskan air mata. sampai aku remaja, keinginan bermain pun masih sangat aku inginkan walaupun itu bukanlah hal yang wajar bagi ku. 
Peringkat pertama terus aku genggam sampai aku kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di indonesia. prestasi itulah yang terus aku bawa sampai aku bekerja di BUMN. aku menjabat sebagai manajer operasional di perusahaan itu, akan tetapi ada hal yang mengganjal dalam hatiku. apa itu ?? jawab dalam hatiku " aku ingin bermain perang-perangan dengan anak-anak SD yang ada di halaman perusahaan". hati ini berontak ketika ada klient perusahaan yang menghubungi aku untuk meeting bersama. 
Kekayaan dan tahta telah aku miliki tapi selalu ada yang selalu menghantuiku. sempat di akhir pekan aku pergi untuk rekreasi untuk menghilangkan penat tapi setelah pulang ke rumah perasaan itu kembali lagi. bersambung


[Continue reading...]

Harta Karun Pulau Masaoi Eps 1

- 0 komentar
Langit pagi terlihat sedikit berawan dan mendung tapi Dan begitu semangat karena hari ini dia mendapat kesempatan untuk ke Jepang.Dia memenangkan lotere jalan jalan ke Jepng.Begitu senangnya dia smpai sampai tidak bisa tidur semalam.Semua pakaian yang dia butuhkan sudah selesai dikemas.Dan turun kebawah menemui ibunya yang tengah menyiapkan bekal untuk Dan.Dan terlihat menelvon seseorang. "Hallo Reina.apa kau sudah siap?sebentar lagi aku menjemputmu" Dan mematikan teleponnya.Dia lalu pamit pada ibunya."hati hati dijalan"pesan ibunya. Dan keluar dari rumah menuju kerumah Reina.Dari jauh dia melihat seorang gadis tengah berdiri didepan rumah bercat biru.Itu Reina.Dan terpesona melihat penampilan Reina yg biasa biasa saja.
    "knapa menatapku sprty itu??"protes Reina.
Dan diam saja."ayo cepat.nanti ketinggalan pesawat,susah payah aku mendapatkan tiket gratis ini."kta Dan.Mereka bergegas ke bandara dengan taksi.Sesampainya disana mereka berkumpul bersama 3 orang yg jg mendapat tiket gratis jalan jalan ke Jepang.Diantara tiga orang itu ada satu orang gadis manis yang terlihat energik.Dan mengernyitkan keningnya.Dia seperti mengenal gadis mengenakan jaket jins itu.
   "Sonia!"kta Dan mengagetkan gadis itu.
   "hah!keponakanku tersayang!bgaimana bisa kau ada disini??"seru Sonia.
   "Hey!jngan memanggilku sprti itu.aku geli mendengarnya."
   "apa kau mengenalnya Dan?"tanya Reina.
   "tidak aku tidak mengenalnya"kta Dan cuek.Dia merasa sial karena bertemu Sonia,keponakan yg paling bawel sedunia.
   "kau pasti Reina??"kta Sonia menebak.
   "benar aku Reina.Bgaimana kau bisa tahu??"tnya Reina bingung.
   "Ahhh Dan sering sekali.."
Belum selesai berbicara,tangan Dan membungkam mulut Sonia.Sonia meronta ronta ingin melepaskan diri.
   "Jangan dengerin omongan ini ank.Semua yg dia pmongin gak ada yg bener"kta Dan.
Reina jadi bingung.Dia menatap tajam mata Dan.Dia merasa curiga.Tiba tiba datang seorang laki laki tua.
   "selamat datng..apa kalian yg beruntung mendapat tiket gratis?kenapa sangat kebetulan semua pemenangnya remaja remaja.Jadi..selama 5hari ini aku akan menjadi guru pembimbing hahahah"Lelaki itu tertawa.
   "Kpn berangkatnya?aq sudah capek berdiri!"bentak seorang cowo yg tengah berdiri di samping Sonia.Orang itu temperamen sekali..kta Dan dalam hati.
   "apa kau mengenal cowo itu?"bisik Dan pada Sonia.Sonia menggeleng dan melirik cowo temperamen itu.
   "Hai...!"spa Sonia.Cowo itu langsung melirik tajam.Sonia tersenyum dan tergila gila dengan tatapan cowo itu.
   "ohhh dia begitu mempesona..."kata Sonia.
   "kau gila apa!yg begitu dibilang mempesona?mempesona kalau dilihat dari atas menara Eiffel!"bisik Dan.Cowo itu melirik tajam ke Dan.Sepertinya cowo itu mendengar omongan Dan.Tatapan mata tajam itu membuat Dan takut dan bersembunyi dibelakang Sonia.
   "hmm baiklah..agar kita akrab disepanjang jalan,sebaiknya kita berkenalan dahulu sambil menunggu pesawat.Baiklah mulai dari kau.."Laki laki tua pembimbing itu menunjuk Dan.
   "Namaku Daniel August Prazia Iron aku anak yang smart..lucu..gokil.."
   "kau tidak perlu menyebutkan sedetail itu bodoh!"sahut Reina diakhiri dengan keplakan dikepala Dan.
   "aw!sakit tahu!"pekik Dan"baiklah..Kau bisa panggil aku Dan"
   "aku Reina.."kta Reina tersenyum.
   "Aku sicantik Sonia..."kta Sonia sambil melirik cowo temperamen yang berdiri tidak jauh darinya.
   "Aku Erick"kta cowo temperamen itu memperkenalkan diri.Erick melirik Sonia dan memberikan senyum evil.Itu membuat Sonia klepek klepek.
   "Dan kau...siapa namamu..?"tunjuk pembimbing pada salah seorang anak yg duduk di bangku tunggu.Anak itu berdiri
   "haloo..namaku William."kta ank itu sembari memberi senyum termanis.
   "ok baiklah..sprtinya sudah saatnya naik kepesawat VIP kita.kalian bisa memanggilku Mar ok..."
Kta kata Mar tidak digubris oleh kelima anak itu.Mereka naik ke pesawat.Benar benar VIP..ah!aku sangat bahagiaaaaaa...kta Dan dlm hati.Pesawat itu terlihat luas.Ada lima buah kursi memanjang yg bisa digunakan untuk tidur.Selain itu ada televisi,bar,dapur,toilet sangat lengkap.Sonia mendekati Reina dan mengajak Reina duduk dengannya.
   "ah!sial sekali..rencanaku untuk kencan dengan Reina kyaknya akan gagal."kta Dan.Dan duduk di kursi belakang Sonia dan Reina.
   "siapa yg menyuruhmu duduk disini?"
Suara itu mengejutkan Dan.Disampingnya kini ada Erick.
   "kau pindah sekarang juga."kta ERick dingin.
Dengan kesal hati Dan pindah ke kursi samping.Disana ada William.Sungguh sial.
   "boleh duduk disini?"tnya Dan.
   'ya..kau boleh duduk disampingku."
Dan menghela nafas lega.Dan menaruh tasnya dan mulai memejamkan mata.Pesawat mulai lepas landas Suara pramugari menggelegar menyuruh menggunakan sabuk pengaman.Dan menyembunyikan ketakutannya.
    "apa kau tidak papa Dan?"tnya Reina yg menyadari wajah pucat Dan.
    "Dia itu mabuk udara.."kata Erick menyela.Dan menatap tajam Erick.Dia sangat malu karena Reina dan Sonia menertawakannya.Dan memanyunkan bibirnya dan memejamkan mata
    "mabuk udara itu wajar"kta William
Baru beberapa menit tertidur dia dikejutkan oleh suara teriakan Erick.Semua anak terbangun termasuk Mar.
    "Ada apa?"tnya Mar.Erick menutup wajahnya dgn jaket dan tangannya menunjuk ke jendela.Dan bangun dan melihat ada apa di jendela Erick.
    "ada apa?"tnya Mar.
    "tidak ada apa apa.Heyy...kau teriak kenapa??"tnya Dan kesal karena merasa terusik.
    "aku,,aku takut ketinggian!"seru Erick.GUBRAK!Dan melongo.William menggeleng gelengkan kepalanya.
    "Kau berteriak hanya karena takut memandang ke jendela??ohh..."kta Dan lemas.Dia kembali ke tempat duduknya.Karena merasa kasihan,Sonia menutup jendela dengan jaketnya.Erick tersenyum padanya dan mengedipkan mata kanannya.Mar kembali ke ketempatnya.Semuanya mulai tenang.Dan memandang keluar jendela dan melihat awan hitam dibawah.Perasaaanya tidak enak.
    Tiba tiba pesawat berguncang.Semuanya panik begitu juga Dan.Guncangan itu semakin keras dan menjadi jadi.Sonia dan Reina saling berpelukan dan berteriak.Dan berjalan menuju kokpit.
    "apa yang terjadi??"tnya Dan.
    "pesawat akan jatuh!kami tidak bisa menjauh dari angin kencang ini!'kta pilot.
Dan melihat kedepan.Sebuah angin topan berputar putar didepan pesawat.william maju dan menarik pilot dari kursi kemudi.Lalu William mencoba membawa pesawat menghindar dari angin itu.
    Reina dan Sonia terus berteriak.Suasana pesawat sangat berantakan.Tas terlempar kesana kemari.Gelas gelas keluar dari lemari dan jatuh pecah.
     Keadaan semakin genting saat pesawat benar benar tertarik oleh angin.Kyyyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!tersdengar teriakan panjang!Pesawat seperti berputar putar dan terjun menukik tajam ke bawah.Ya TUhannnnnn selamatkan kamiiiiiiiiiii!doa Reina dlm hati.
   Pesawat itu jatuh!Tubuh Dan terasa luluh lantah..pedih..pandangannya pun gelap.

 Bagaimanakah nasib mereka??baca di part selanjutnya....



[Continue reading...]

Senin, 24 Februari 2014

Privacy Policy

- 0 komentar
Privacy Policy for cerfiks.blogspot.com, If you require any more information or have any questions about our privacy policy, please feel free to contact us by email at Privacy Policy.
At http://cerfiks.blogspot.com we consider the privacy of our visitors to be extremely important. This privacy policy document describes in detail the types of personal information is collected and recorded by http://cerfiks.blogspot.com and how we use it.

Log Files
Like many other Web sites, http://cerfiks.blogspot.com makes use of log files. These files merely logs visitors to the site - usually a standard procedure for hosting companies and a part of hosting services's analytics. The information inside the log files includes internet protocol (IP) addresses, browser type, Internet Service Provider (ISP), date/time stamp, referring/exit pages, and possibly the number of clicks. This information is used to analyze trends, administer the site, track user's movement around the site, and gather demographic information. IP addresses, and other such information are not linked to any information that is personally identifiable.

Cookies and Web Beacons
http://cerfiks.blogspot.com uses cookies to store information about visitors' preferences, to record user-specific information on which pages the site visitor accesses or visits, and to personalize or customize our web page content based upon visitors' browser type or other information that the visitor sends via their browser.

DoubleClick DART Cookie
Google, as a third party vendor, uses cookies to serve ads on http://cerfiks.blogspot.com.

Google's use of the DART cookie enables it to serve ads to our site's visitors based upon their visit to http://cerfiks.blogspot.com and other sites on the Internet.

Users may opt out of the use of the DART cookie by visiting the Google ad and content network privacy policy at the following URL - http://www.google.com/privacy_ads.html
Our Advertising Partners

Some of our advertising partners may use cookies and web beacons on our site. Our advertising partners include .......

GoogleWhile each of these advertising partners has their own Privacy Policy for their site, an updated and hyperlinked resource is maintained here: Privacy Policies.

You may consult this listing to find the privacy policy for each of the advertising partners of http://cerfiks.blogspot.com.
These third-party ad servers or ad networks use technology in their respective advertisements and links that appear on http://cerfiks.blogspot.com and which are sent directly to your browser. They automatically receive your IP address when this occurs. Other technologies (such as cookies, JavaScript, or Web Beacons) may also be used by our site's third-party ad networks to measure the effectiveness of their advertising campaigns and/or to personalize the advertising content that you see on the site.
http://cerfiks.blogspot.com has no access to or control over these cookies that are used by third-party advertisers.

Third Party Privacy Policies
You should consult the respective privacy policies of these third-party ad servers for more detailed information on their practices as well as for instructions about how to opt-out of certain practices. http://cerfiks.blogspot.com's privacy policy does not apply to, and we cannot control the activities of, such other advertisers or web sites. You may find a comprehensive listing of these privacy policies and their links here: Privacy Policy Links.
If you wish to disable cookies, you may do so through your individual browser options. More detailed information about cookie management with specific web browsers can be found at the browsers' respective websites. What Are Cookies?

Children's Information
We believe it is important to provide added protection for children online. We encourage parents and guardians to spend time online with their children to observe, participate in and/or monitor and guide their online activity.
http://cerfiks.blogspot.com does not knowingly collect any personally identifiable information from children under the age of 13.  If a parent or guardian believes that http://cerfiks.blogspot.com has in its database the personally-identifiable information of a child under the age of 13, please contact us immediately (using the contact in the first paragraph) and we will use our best efforts to promptly remove such information from our records.


Online Privacy Policy Only
This privacy policy applies only to our online activities and is valid for visitors to our website and regarding information shared and/or collected there.
This policy does not apply to any information collected offline or via channels other than this website.

Consent
By using our website, you hereby consent to our privacy policy and agree to its terms.

Update
This Privacy Policy was last updated on: Fri, Oct 18th, 2013.
Privacy Policy Online Approved Site
Should we update, amend or make any changes to our privacy policy, those changes will be posted here.



[Continue reading...]

Kamis, 20 Februari 2014

Heaven of Forbidden Dream

- 0 komentar
Tersebutlah suatu keajaiban yang menghantar manusia ke tempat ini….
Terhempas memasuki dunia penuh cahaya syahdu…
Di mana senyum bahagia menghiasi wajahmu tiada akhir…
Mampu menatap sempurnanya langit dengan uraian awan putih yang kian membuatnya indah…
Suatu tempat dimana kau akan melupakan kepedihan yang kau alami selama di duniamu…

Aku pernah terhempas memasuki dunia Kematian… dunia di mana semua orang yang telah mati, terlahir kembali ke dalam dunia Kematian,… menjalani kehidupan mereka menjadi seorang Atnaf dalam dunia yang juga disebut dengan “Forbidden Dream”, sebelum pada akhirnya mereka para Atnaf kembali harus meninggalkan suatu dunia ke dunia lain yakni Akhirat…
Aku mungkin beruntung selepas kepergianku dari Forbidden Dream aku tidak terjatuh ke Akhirat melainkan kembali ke dalam dunia kehidupan melalui gerbang yang disebut kematian sesaat atau mati suri oleh mereka yang masih hidup.
Atau juga mungkin tidak beruntung karena pada akhirnya aku harus kembali terhempas memasuki Forbidden Dream ketika aku mati nanti.
Namun entah apapun itu aku tak lagi peduli. Toh peristiwa itu sudah terjadi begitu lama saat aku berusia 6 tahun, sedangkan kini usiaku telah hampir menyentuh 19 tahun.
***************************
Aku pulang dari kampusku begitu larut malam karena ada beberapa pekerjaan merepotkan yang harusnya bukan menjadi tugas yang harus ku selesaikan. Aku melintasi malam yang begitu gelap hanya dengan berjalan kaki. Enggan rasanya untuk pergi ke halte dan menunggu datangnya bus.
Memperparah keadaan karena awan hitam yang sejak sore menggantung di langit tak lagi menampung air hujannya. Hujan yang begitu deras itu memaksaku mencari suatu tempat untukku terhindar dari derasnya serbuan hujan yang pastinya akan sedemikian membasahkan aku.
“Sial… kenapa harus hujan?...” umpatku penuh kekesalan.
Cepat aku berlari dan berteduh pada salah satu kios yang nampaknya tak lagi berpenghuni.
Nampakmya hujan ini akan sedemikian melarutkan pulangku. Nampaknya apabila keputusanku tadi jatuh pada menanti bus di halte, aku mungkin sudah sampai rumah tanpa harus terkena dampak dari hujan.
Kulirik jam digital pada layar ponselku. Terkejut ketika kini waktu telah mencapai perbatasan hari. Hal itu memaksaku untuk berlari menerobos hujan dan membiarkan seluruh tubuhku basah. Tak masalah karena saat ini aku tak menaruh hal-hal penting yang dapat hancur oleh air dalam tas punggungku. Mungkin hanya beberapa dokumen tugas yang apabila hancur pun aku masih mempunyai file-nya.
********************************
Basah kuyup seluruh tubuhku ketika aku menggapai pintu rumah. Kaget saat melihat adik perempuanku yang berusia 13 tahun masih terjaga di hadapan TV. Perlahan kudekati dia yang nampaknya belum menyadari kehadiranku.
“Melody!... kenapa kau belum juga tidur?”
Nampak kaget oleh suaraku, Melody menoleh terkejut ke arah ku.
“Ah, Kak Viola!, Kakak mengagetkan ku saja…” kata Melody dengan senyum simpul yang sejenak terlihat di sudut bibirnya.
“Maaf!... tapi kenapa kau belum juga tidur? Sudah pukul satu pagi lho”
Melody tersenyum menanggapi perkataanku.
“Selain karena besok libur, aku juga menunggu, Kak Viola…”
“Berarti karena Kakak sekarang sudah sampai di rumah, ayo kita tidur!” ajakku dengan memperlihatkan senyuman lebarku.
“Ya!... setelah, Kak Viola mandi tentunya…”
Ucapan Melody hanya ku balas dengan senyum hangatku. Sebelum kemudian kuputuskan untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh adik manisku.
Tak berlalu begitu lama aku kini telah sampai pada kamarku. Nmencoba untuk mulai melupakan rasa penat yang telah membelenggu ku sejak tadi pagi.
Kurebahkan raga ini ke ranjang setelah kumatikan cahaya lampu yang menyala. Mataku menatap ke luar jendela menyaksikan jutaan butir hujan yang rasanya kian deras. Tersenyum sejenak sebelum kubiarkan mata ini terpejam dan telah bersedia untuk menyambut hadirnya MIMPI.
**************************************************************

Terlepas dari terlelapnya Viola, tak begitu jauh dari rumahnya, tepat di seberang jalanan yang begitu gelap, dua orang berjubah cokelat berkerudung mereka berdiri penuh keheningan menyambut derasnya hujan yang kian membasahi raga mereka.
“Akhirnya dia kita temukan…” ucap salah satu dari dua sosok tersebut begitu pelan seiring dengan derasnya hantaman hujan.
Perlahan mereka melangkah mendekati rumah yang kini begitu gelap oleh tiadanya lagi cahaya yang menyala.
Bagaikan terbang keduanya melompat begitu tinggi menerjang derasnya hujan hinggadengan begitu mudahnya wujud mereka mampu menapakkan kaki pada ujung jendela lantai dua di mana kamar Viola berada.
Bagaikan angin keduanya saling berkelebat hingga dengan mudahnya menembus masuk ke dalam kamar Viola. Mendapati heningnya Viola yang terlelap tanpa menyadari adanya dua sosok yang mengawasinya begitu dekat.
“Baiklah… sekarang apa yang harus kita lakukan?...”
Seorang dari keduanya membuka kerudung jubahnya. Menunjukkan rambut merahnya yang berlapis dan terjatuh lurus menutupi keningnya.
“Hanya dia yangt terhempas dari Forbidden Dream dan terhempas ke dunia ini,… menjadikan dia sebagai harapan terakhir kita untuk memusnahkan para Nezz yang telah mengambil alih Forbiden Dream…”
Berbeda dengan pria sebelumnya, ia enggan untuk membuka kerudung jubahynya yang begitu basah. Enggan menampakkan seperti apa sosok wajahnya.
“Lalu bagaimana cara kita membawa gadis ini ke Forbiden Dream?... dengan membunuhnya kah?...”
Di keluarkan oleh pria berambut merah sebuah belati tajam dari balik jubah cokelatnya yang segera dihunusnya ke arah jantung Viola, sebelum upayanya terhalangi oleh dia yang tak memperlihatkan wajahnya.
“Kita tak berhak melakukan hal itu,.. kita tak berhak untuk membunuh manusia di bumi hanya untuk menghempasnya ke Forbiden Dream” kata pria itu tenang. “Lagi pula apabila kita menghgempas gadis ini ke Forbiden Dream dengan jalan pembunuhan, hal tersebut akan berujung dengan terlahirnya dia menjadi pribadi baru dalam Forbiden Dream, tidak akan menjadi pribadi seorang Meredith seperti sosoknya dulu saat ia terlaghir pada Forbiden Dream…” sambungnya dan lagi-lagi begituy pelan.
“Lalu bagaimana cara kita membawanya ke Forbiden Dream?...” tuntut pria berambut merah.
Sejenak keheningan menjamah mereka. Deru angin mulai terdengar dari luar beriringan dengan kian derasnya tetes hujan.
“Mimpi… hantar dia melalui mimpinya mala mini… biarlah dalam mimpinya ia sampai pada Forbiden Dream dan membantu para kesatria untuk mengusir para Nezz atau untuk sebutan dunia ini bernama setan…”
Disentuhlah dahi Viola oleh Pria yang tak menampakkan wajahnya. Sejenak terdiam seraya berkonsenterasi.
Petir menyambar dengan kerasnya di antara derasnya hujan. Cahayanya sekilas mengusir kegelapan kamar Viola.
Dalam tidurnya, Viola mulai tampak gusar. Wajahnya pucat seolah mendapat ancaman dari mimpinya. Keringat mulai saling bermunculan di sekujur tubuh Viola.
“Terbanglah!... terbanglah menuju kematian Wahai Sang Pengembara!...”
Sekejap tubuh kedua Pria itu melebur dalam sekelebatan-sekelebatan cokelat yang kemudian sirna beriringan dengan menyambarnya petir tepat di halaman rumah. Memberikan cahaya terangnya beriringan dengan keresnya ledakan.
**********************************************************
Aku berlari menembus gelapnya malam menjauhi raungan-raungan jahat yang mengejarku. Rasa lelah ini tak lagi ku hiraukan oleh kian dekatnya aku dengan sosok hitam yang mengejarku.
Aku berusaha berteriak mencari pertolongan tapi rasanya suara ini enggan keluar dari ujung tenggorokan. Memaksaku berlari kian cepat.
Sesekali mataku mencoba melirik ke belakang, memastikan apakah sosok hitam tak lagi mengejarku. Namun kenyataannya justru berkata lain. Sosoknya kian dekat tiap kali ku melirik ke belakang. Memaksa langkah ini kian cepat menyusuri dalam kegelapan.
Entah berapa lama lagi langkah ini mampu menghindar dari ancaman itu. Nafasku seolah terlalu cepat keluar masuk dalam paru-paruku yang justru membuatku merasa sakit.
Benar-benar hampir sirna nafas ini,… membuat langkah cepatku perlahahan melambat. Panik aku akhirnya mampu berteriak. Ku tatap sosok hitam yang tak hentinya mengejarku. Ngeri rasanya membayangkan ragaku dimangsa oleh sosok itu.
Enggan menatapnya lebih jauh, kupalingkan wajahku ke depan. Tak cukup cepat untukku menyadari datangnya energi panas yang dengan cepat menerjang ragaku. Seolah saling menyayat tubuhku tanpa bekas luka yang terlihat. Menjeris keras aku sebelum terhempas dan terjatuh. Pasrah menerima apa yang terjadi sebelum mata ini mampu menatap kejadian yang begitu mengejutkan. Saat tiba-tiba tempat di mana aku terjatuh ini saling memudar dalam kegelapannya. Saling melebur menjadi suatu ruang gelap yang tak berdasar.
Secara perlahan raga yang terjatuh ini mulai terangkat naik. Mendekati semacam titik cahaya putih yang kian membesar.
Kutatap penuh tanda tanya cahaya yang kian membesar seiring dengan kian dekatnya aku melayang menuju sumber sinar.
Cahayanya terasa mulai menyilaukan mata dalam kegelapan ini,... memaksaku untuk menghalau cahayanya dengan telapak tanganku. Akan tetapi sedemikian rapatnya aku menghalau sinar yang kian dekat itu, semakin cahayanya menembus masuk ke dalam mataku,... membuatku mulai merasakan lelah yang begitu luar biasa.
Ketika cahayanya begitu terang dan tepat di hadapanku, seolah terbius aku melayang dan meraih cahayanya, hingga terangnya cahaya memenuhi seisi mataku. Membuatku tak menyadari apa pun yang terjadi setelahnya. Aku terpuruk dalam hilangnya kesadaran ini.
****************************************************
Kicau burung dengan indahnya terdengar olehku saat kesadaran ini mulai kembali. Mata ini masih saja terpejam saat seolah dating suatu sorot cahaya yang menerpa wajahku. Kicau burung kian merdu beriring dengan angin yang mendesir membelai raga yang terkulai lemas ini.
Ku izinkan kedua belah mataku terbuka. Kabur pandanganku saat mencoba memahami apa yang terjadi, hanya ada warna hijau kusam yang ada dalam pandanganku yang masih buyar. Ku kejap-kejapkan mata ini, mencoba untuk memperjelas pandangan ini.
Hingga ketika mata ini begitu sempurna untuk melihat, sorot cahaya mentari yang menembus dedaunan pohon sontak menyilaukan mataku. Ku halau sinarnya dengan telapak tanganku. Begitu terkejut saat aku menyadari bahwa aku tengah terkulai di dalam rimbanya hutan berkabut cukup tebal ini.
Saat semuanya jelas, barulah aku sadar tentang rasa sakit yang tergurat di leherku. Nampaknya berdarah ketika aku merabanya. Terasa begitu pedih.
Perlahan ku angkat raga ini untuk terduduk memandangi penjuru hutan yang kian berkabut.
Kembali ku kejapkan mata ini untuk memastikan kebenaran yang ku lihat. Tapi semua ini adalah kebenaran, bukan fatamorgana yang sempat ku pikirkan. Mata ini menyusup menembus kabut yang kian pekat untuk mencoba mencari tahu apakah ada suatu hal dari tempat ini yang aku ketahui. Tapi semuanya nihil, tak ada satu hal pun yang aku kenali di tempat ini. Semuanya begitu asing.
Perlahan aku berupaya berdiri dengan telapak tanganku yang memegangi guratan berdarah di leherku. Menoleh heran ke sekeliling mencoba untuk memastikan sekali lagi kebenaran dari semua ini. Tapi kembali aku menyadari bahwa tempat ini benar sebenar-benarnya.
Melangkah aku ke arah suatu pohon. Entah apakah ada sesuatu yang menarik terdapat di sana. Sejenak terdiam menatap gagahnya pohon pinus di hadapanku. Ku letakkan telapak tangan ini menyentuh kulit kasarnya. Kembali terdiam dan kali ini seolah ada sesuatu perasaan yang membuat ku tersenyum.
Akan tetapi perasaan itu sekejap sirna terganti oleh keterkejutanku. Merinding seluruh raga ini mengalirkan keringat dingin yang kini membasahi raga ini. Wajahku pucat dank u rasakan jantung ini berdegup cepat saat mendadak pohon di hadapanku hancur dalam pudaran hitam yang terhempas dari belakang. Begitu terasa adanya energy jahat yang memandangku dari belakang. Dengan terlingkupi rasa takut ini, perlahan aku menoleh memberanikan diri ke arah energy jahat yang rasanya telah bersiap menerjangkan serangannya.
Terkejut mata ini saat melihat sosok hitam dibalik kabut yang mulai menebal. Sosok hitam yang tak lagi terasa asing. Sosok yang memberi luka pada leherku. Sosok yang telah mengejarku dalam kegelapan hingga membuatku sampai di tempat ini. Sosoknya yang bagaikan naga hitam itu meraung keras hingga aku yang terkejut terjatuh.
Sosoknya melesat menembus kabut ke arahku dengan rahangnya yang terbuka menunjukkan taring-taring tajam yang akan mengoyak raga ini.
Erat mata ini terpejam menahan rasa takut yang begitu kuat dalm diri ini. Pasrah menanti serangan menyakitkan yang akan dating. Akan tetapi nyatanya serangan itu belum juga datang menghampiri ku. Bukankah logikanya untuk serangan secepat itu kini telah menerjangku? Haruskah aku kini merasa lega aku masih hidup? Atau haruskah aku menjerit panik apabila sebenarnya serangan itu begitu cepat menghampiri hingga tak ku sadari diri ini teloah terbunuh?
Wasa-was mata ini ku buka. Mencoba menyadari hal apa yang tengah terjadi. Hingga mata ini begitu terbelalak oleh apa yang ku lihat. Sulit ku sadari bahwa sosok hitam itu kini telah menjadi bangkai hitam yang terkulai bersimbah darah di hadapanku.
“Apa yang terjadi?”
Terdiam ku menatapnya. Heran melihat apa yang kini terjadi. Sebelum sebuah suara mampu terdengar oleh telinga yang begitu tajam di antara kesunyian ini.
“Kau baik Wahai orang asing?”
Sekejap aku menoleh ke arah pria berambut emas yang mengenakan jubah cokelatnya. Sebuah tongkat hitam ada pada genggaman tangan kanannya.
Aku tak segera menjawab. Justru malah terkesan bingung tentang apa yang terjadi.
“Apa yang terjadi?”
Rasanya pria itu justru heran mendengar pertanyaanku. Berhenti beberapa langkah di hadapanku seraya menggaruk kepalanya.
“A… bukankah harusnya aku yang menanyakan hal itu?... apa yang terjadi?”
Heran ia memandangiku. Seolah mencoba mencari sesuatu yang terdapat pada diriku.
“Baiklah terserah!... tapi di mana aku?... tempat apa ini?...”
Mendengar pertanyaanku Sang Rambut Emas terbelalak. Terkejut mungkin mendengar kekonyolan dari pertanyaanku. Ragu ia bersedia menjawab. Matanya bingung seolah mencari kata-kata yang tepat untuk diucapnya.
“Ini… ini… Hutan kabut… Dunia ini disebut… a… disebut…”
Ragu ia menjawabnya. Tangan kanan yang memegang tongkat memainkan tongkat itu sendiri.
“Dunia?... dunia apa?... di mana ini?...” sergahku begitu penasaran. Membuatnya cepat menjawab.
“Forbiden Dream...”
Tak asing nampaknya nama itu. Forbidden Dream… seperti begitu akrab di telingaku.
“Apa itu?... apa itu… Forbiden Dream?...” tanyaku perlahan.
“Sungguh kau tak tahu?... benar?...”
Dahinya berkerut. Kubalas pertanyaannya dengan anggukan kepala.
“Surga dari mimpi terlarang… itulah istilah lain untuk dunia ini… dunia di mana Surga pernah menjadi bagian dari tempat ini…”
Bagaikan alunan lagu pria itu menjawab. Entah mengapa setelah mendengar penjelasannya, tubuh ini terasa hangat… seolah memancarjan cahaya yang begitu menyejukkan. Terpejam mata ini seolah merasakan kenyamanan yang begitu luar biasa. Rasanya dalam terpejamnya mata ini, ragaku melayang begitu tinggi dan bercahaya.
“Forbiden….. Dream….?”
Perlahan ku buka mata ini. Dan begitu terkejut bvahwa semua yang ku rasakan benar terjadi. Raga ini melayang di udara dengan cahaya syahdu yang terpancar. Terbelalak mata ini saat meliht ke bawah. Di mana disana telah berkumpul beberapa berjubah mereka yang tertunduk padaku. Perlahan raga ini kembali merendah bersambut dengan sirnanya cahaya.
Ku tapakkan kaki ini lagi pada permukaan tanah. Terdiam membisu aku menatap tertunduknya orang-orang ini.
“Anda telah kembali wahai Sang Meredith!”
Ku tatap pria berambut emas yang menyelamatkanku usai ia mengucapkan kelimat itu. Heran aku mendngarnya.
“Apa?... Meredith?... siapa dia?-“
“Anda!... Meredith adalah anda… bukan Meredith, tapi Sang Meredith…” sergah si rambut emas.
Sontak wajah ini tercengang mendengar ucapannya.
“Tapi… bukan… setahuku namaku adalah Viola… Viola Zhun.”
Bingung hati ini melihat apa yang tengah ku alami saat ini. Ku tatap satu demi satu sosok-sosok yang masih tertunduk kepadaku.
“Viola… adalah nama bumi-mu wahai Sang Meredith…”
Mata ini langsung tertuju pada wanita anggun berjubah cahaya yang muncul dari ketiadaan membelah kabut. Tongkat emas berhiaskan cincin-cincin peraknya adalah apa yang ia genggam saat ini. Berdecik taip kali tongkat itu dihentakkan ke tanah. Sekejap kagum jiwa ini melihat parasnya yang begitu bersahaja. Tertegun aku melihat kedatangannya yang terdampingi oleh dua gadis cilik bergaun kemilau perak.
Terhenti ia beberapa langkah di hadapanku yang menatapnya penuh kagum. Terlebih ketika ia beserta dua gadis pengiringnya merunduk member hormat yang tertuju padaku.
“Hormat kami wahai Sang Meredith…”
Bersahaja ucapan itu terdengar dan terngiang di telingaku.
“Tunggu-tunggu… ada apa ini?... siapa kalian?... kenapa kalian terus memanggilku Meredith?.... aku… hanya tersesat di hutan ini…”
Gusar mulai melanda otakku. Ku tatap lagi satu demi satu mereka yang tertunduk padaku.
“Sang Putih!... tidakkah ini aneh?... kenapa Sang Meredith-“
“Itu semua memang sangat mungkin, Sang Rambut Emas… mungkin saat dia dulu terhempas ke dunia sebelum dunia ini, ingatannya terhapus… atau saat ia kembali memasuki dunia ini, ingatannya terhapus. Ingatan tentang betapa ia berjasanya dulu dengan rekan-rekannya.”
“Sebentar!... sebenaranya apa yang kalian bicarakan?...” tanyaku menuntut.
Sesaat orang-orang ini saling bertatapan mencoba untuk saling berkomunikasi dangan tatapan mereka itu.
“Sang Penghantar!... apakah Sang Penjelajah, dan Sang Pendamping telah membunuh sosok Viola di Bumi untuk menghantarnya ke Forbiden Dream?”
Sekejap Sang Rambut Emas menoleh ke arah pria botak jauh di sampingnya.
“Tidak… tentu tidak… dengan membunuhnya berarti mereka telah mengirim Viola ke Forbiden Drem menjadi pribadi baru… pastinya Sang Penjelajah menghantar Viola melalui gerbang mimpi.”
Sontak tatapanku berpusat kepada pria botak yang dipanggil Sang Penghantar.
“Mimpi?... apakah semua ini mimpi?...” tuntutku begitu ketus.
“Tidak wahai Sang Meredith,… tapi melalui mimpimu-lah kau memasuki Forbidan Dream… tempat ini nyata senyata-nyatanya.”
Merdu suara dari dia yang disebut sebagai Sang Putih. Wanita anggun yang berjubahkan cahaya syahdu.
“Lalu apa semua ini?... apa alasannya aku di sini?... siapa kalian?...”
Sejenak Sang Putih terdiam. Tersenyum hangat ia padaku. Menatap mata ini begitu teduh.
“Kami adalah para Atnaf, Sang Meredith. Sebutan untuk Manusia di duniamu. Dan, tempat ini adalah Forbidem Dream-“
“Ok… aku sudah cukup kerap mendengar nama itu…” hardikku sebal. Sekejap membungkam Sang putih. Merubah raut wajahnya begitu derastis. Sebelum senyum itu kembali tergurat indah di wajahnya.
“Baiklah,… Forbiden Dream kita lewati…” sejenak terhentilah Sang Putih. Mengambil nafas panjang sebelum kembali melanjutkan. “Jauh sebelum kau berada di dunia ini saat ini… dulunya kau pernah terlahir di tempat imi… melewati masa kecilmu bersama Lima tokoh tetua serta Empat anak yang setakdir dengan-mu… kelima tokoh itu adalah mereka yang menyebut diri mereka Heaven… bersama sebelum menemukanmu, maupun keempat anak lainnya, mereka mengabdikan hidup mereka untuk mencari keberadaan dari Kristal Hitam. Karena dengan Kristal Hitam itulah Delaev mampu ditundukkan…”
“Tunggu!...” potongku cepat begitu aku mendengar istilah asing yang muncul di otakku. “Apa itu Delaev?”
“Bukan apa. Siapa?... Delaev adalah dia Sang iblis… iblis yang telah begitu lama membudakkan kami para Atnaf…membudakkan kami untuk melayani kebusukan hatinya… kejam ia dan kaumnya menyiksa kami… oleh hal itulah kelima tokoh Heaven menyadari adanya Kristal Hitam… sebuah Kristal yang menurut legenda mampu meruntuhkan kekuasaan Dela-“
“Lalu berhasilkah mereka?” sadar ia akan terus bercerita tanpa jeda apabila tak aku potong kalimatnya dengan pertanyaanku.
“Tidak…” singkat Sang Putih menjawab. Membuat wajah ini sontak bingung. Tercengang aku mendengarnya.
“Tidak akan bisa mereka menemukannya… hanya mereka temui petunjuk-petunjuk membingungkan tentang ketidak pastian letak dari Kristal Hitam…”
“Lalu?...” potongku penuh Tanya. “Lalu apakah yang mereka lakukan setelahnya?” nampaknya diri ini telah mulai tertarik dengan cerita yang baru kali ini terdengar olehku.
“Mereka terus mencari… mencari tanpa kapastian dengan terus menerus tiada henti. Hingga ditemukanlah oleh mereka suatu fakta… fakta yang mencengangkan mereka… fakta tentang tidak mungkin ditemukannya Kristal Hitam.”
Kian bingung benak ini mendengar apa yang diucapkan Sang Putih. Tak lagi mampu menangkap arah ceritanya.
“Fakta. Fakta tentang hanya dapat ditemukannya Kristal Hitam oleh kelima anak yang terlahir dengan tanda Kristal Hitam pada raga mereka…”
Mulai dapat lagi ku ikuti alur ceritanya. Mulai dapat lagi ku tangkap arah pembicaraannya. Namun enggan mulut ini untuk menyelakan pertanyaan-pertanyaan yang mulai bermunculan di benakku.
“Maka beralihlah pencarian mereka… maka mulailah mereka mencari ke pelosok Forbiden Drea, untuk menemukan kelima anak yang mempunyai tanda Kristal Hitam. Ditemukannya satu di antara kelima anak pemilik tanda Kristal Hitam yakni dirimu… Sang Meredith. Atau Violet-lah namamu di masa pengembaraanmu bersama keempat anak lain menemukan Kristal Hitam-“
“Lalu apakah dengan demikian keempat anak lain selain aku juga akan kembali pada Forbiden Dream saat ini?” ku sela ceritanya yang begitu membuatku tertegun dengan pertanyaanku.
“Tidak. Mereka tidak akan kembali. Hanya kau yang mampu kembali.”
Memicing mata Sang Putih ke arah ku bersambut dengan terbelalaknya mata ini.
“Tidak?... tapi kena-“
“Karena mereka semua mati. Mati setelah Delaev runtuh. Dan setelah kematian mereka, terhempaslah mereka menuju dunia akhir… berbeda halnya denganmu… oleh apa yang telah mampu terbaca oleh Zun Llatsyrc, maka ia menghempasmu kembali ke dunia sebelum dunia ini sesat sebelum kau wafat dulu…”
“Siapa? Zun Llatsryk?... siapa lagi dia?”
“Zun Llatsyrc, wahai Sang Meredith. Bukan seperti yang baru saja kau sebutkan itu. Ia adalah seorng di antara kalian yang pertama kali menggapai titik dimana Kristal Hitam berada dan bertarung dengan Delaev. Ia pula-lah yang mampu mengubah bongkahan-bongkahan Kristal Hitam menjadi sebilah pedang yang akhirnya mampu meniadakan hidup Sang Delaev…” tutur Sang Puti begitu syahdu.
“Lalu?... lalu untuk apa aku kembali lagi ke tempat ini?... bukankah dengan tiadanya Delaev harusnya mendamaikan dunia ini?... lalu untuk apa aku di sini?...”
“Kedamaian itu semua PALSU!...” pekik Sang Penghantar begitu keras. Membuatku menatapnya dengan bungkam.
“Telah kami rasakan kedamaian itu cukup lama sebelum kedamaian itu sendiri yang menghancurkan tenteramnya Forbiden Dream.”
Maka berdirilah dia Sang Penghantar dengan pekikkan yang sontak menamparkan rasa amarahnya padaku.
“Tenanglah, wahai Sang Penghantar!” ucap Sang putih meredakan amarah dari dia Sang Penghantar.
“Maaf!... tap apa yang kau maksud dengan kedamaian itu sendirilah yang menghancurkan?” tuntutku penuh penuh hasrat ketidak pahaman.
“Kedamaian. Kedamaian menghasilkan suatu ketentraman bagi dunia ini yang pula ketentraman itu sendiri menghasilkan kebahagiaan, kebahagiaan akan menghasilkan hasrat untuk selalu mencintai. Maka cinta, cinta menimbulkan hasrat untuk meraih segala sesuatu yang dicintainya. Maka dari sanalah muncul benci. Dari bencilah kejahatan muncul,… kejahatan yang akan memicu dengan kian kuatnya hasrat kegelapan…” tanpa jeda namun begitu syahdu Sang Putih bercerita. Sejenak membuatku ingin mengutarakan pertanyaan sebelum ternyata ceritanya masih belum berakhir. “Dari kegelapan yang menjadi ujung dari kedamaian itulah masalah dimulai. Dimulai dengan begitu pelik. Hal itulah yang telah mampu dibaca oleh Zun Llatsyrc. Hal yang berakibat pada saling munculnya sosok-sosok Nezz yang saling menjebloskan para Atnaf yang terhasut kebencian ke Neraka. Kini merajalela-lah sosok Nezz ke penjuru Forbiden Dream.”
Sebelumnya kutahan hasrat untuk bertanya ini. Namun kian ku menahannya, kian menggebu pula pertanyaan yang akhirnya tak lagi mampu ku tampung.
“Nezzz?... apa itu?... apa pula hubunganku dengan semua ini?...”
Terdiamlah Sang Putih sebelum mulai menjawab pertanyaan ini.
“Nezz. Adalah sama dengan yang kalian sebut di duniamu dengan nama Setan. Menyesatkan dan menjebloskan orang-orang yang terhasut ke Neraka… dan hubunganmu dengan semua ini begitu kuat… keadaan dimana para Nezz saling merajalela di Foebiden Dream yang menunjukkan kian lemahnya tanda-tanda kebaikan di dunia ini membuat Sang Pencipta memutuskan untuk menjatuhkan hari kehancuran pada Forbiden Dream… yang berarti pula tak memerlukan waktu lama dengan duniamu yang akan mengalami hal yang sama dengan hancurnya Forbiden Dream.” bergetar bibirnya usai ia mengutarakan hal itu, namun suasaranya masih saja terdengar mengalun merdu. Tak menunjukkan kegusaran yang rasanya mengusik hatinya. “Hanya ada satu jalan untuk merubah pemikiran Sang Pencipta. Yakni dengan menunjukkan kebaikan-kebaikan yang harus lagi dimiliki Forbiden Dream,.. dan jalan itu harus dicapai melalui kembali stabilnya Forbiden Dream. Kejahatan, kebencian, maupun kegelapan haruslah tetap ada dan berdiri sejajar dengan kebaikan, cinta, dan cahaya. Dengan demikian maka stabillah dunia ini-“
“Maaf menyela!... tapi lagi aku bertanya. Apa semua ini yang berkaitan dengan ku?”
Melangkah aku mendekati Sang Putih dan terhenti satu langkah di hadapannya. Berharap menemukan jawaban dari pertanyaanku.
“Lagi aku berkata bahwa kau adalah orang yang terhempas kembali ke dunia sebelum ini,.. kau adalah satu di antara lima sang pemilik lambing Kristal Hitam-“
“Dan itu semua tidak menjawab pertanyaanku?...”
Kesal lau aku memotong ucapan Sang Putih dengan pekik kerasku yang sejenak membungkamnya.
“Karena hanya kaulah, Sang Meredith… hanya kau lah yang bisa menstabilkan unsur kehidpan ini… hanya dari sang pemilik tandalah dunia ini akan stabil.”
“Dan… aku… tak… mempunyai… tanda yang KAU MAKSUD!!!...”
Keras kali ini aku menjerit sebelum terjatuh begitu lemas di tanah. Kesal hati ini mendapatkan kisah-kish yang terucap oleh sekumpulan orang yang nampaknya gila.
“Belum!... belum memiliki… tapi akan segera kau miliki begitu kau akan menyadari semua kebenaran yang aku ucapkan.”
Sontak ku tataplah Sang Putih yang tersenyum padaku. Tersenyum dalam rasa heranku saat secara mengejutkan saling bersinarnya punggung telapak tangan kiriku. Ku angkat di hadapan wajahku cahaya yang kian terang dan seolah meninggalkan pola-pola yang tak ku mengerti.
Semua orang atau di dunia ini disebut Atnaf yang sedari tadi diam, kini terbelalak. Menampakkan rasa terkejut mereka, terkecuali Sang Putih yang justru terdiam.
Maka sirnalah cahaya dalam bermunculannya guratan-guratan bilah Kristal hitam yang saling meruncing tak teratur pada punggung telapak tanganku. Terbelalak aku melihatnya. Memaksaku untuk mempercayai dongeng-dongeng yang telah diceritakan oleh Sang Putih.
“Jadi?... bagaimana?”
Menyeringai Sang Rambut Emas kepadaku. Membuatku yang sedari tadi melamun, kini menatapnya dengan rasa tak percaya.
“Kalau sudah sampai sejauh ini dan cerita itu terbukti benar oleh ku,… maka kali ni aku percaya… tapi aku—“
“Takut?... tidak siap?... atau ustru ragu?... itu semua akan sirna dengan berlalunya waktu wahai, Sang Meredith.” ucap Sang Penghantar dengan senyum di ujung ucapannya.
“Baiklah… lalu bagaimana caraku menstabilkan unsur kehidupan yang begitu tak seimbang ini?”
Perlahan ku abaikan tanda Kristal hitam yang muncul dan berdirilah aku tegak. Menatap mata Sang Putih.
“Kristal Hitam… adalah jawaban dari semua ini… Kristal Hitam adalah suatu wujud dari saling mengkristalnya unsure-unsur hidup oleh semacam sihir yang luar biasa. Dengan adanya Kristal itu pada tempat yang tepat, Kristal itu akan dengan sendirinya menstabilkan kehancuran dunia. Diambilnya Kristal Hitam oleh kalian dahulu untuk memperkuat unsure kedamaian membuat dunia ini perlahan menguat dari satu sisi—“
“Jadi maksudnya Kristal Hitam harus dikembalikan ke tempat yang tepat?” potongku cepat. Rasanya memang tak sopan tindakanku ini, tapi aku bukanlah orang atau disini Atnaf yang senang mendengarkan cerita panjang bertele-tele yang mempunyai arti singkat.
“Ya… itulah yang harus kau lakukan untuk menunda kehancuran dunia ini… toh memang akhirnya dunia ini juga akan hancur.” ucap Sang Putih dan masih juga dengan senyum teduhnya.
“Baik… tapi di mana harus aku mengembalikan Kristal Hitam?... di mana pula Kristal Hitam kini bertambat?...”
Sejenak suasana kembali hening. Keheningannya menjamah kami beriring dengan angin yang perlahan berhembus menerpa kami, menyibakkan rambut panjang para Wanita di sini tak terkecuali aku.
“Harus kau ambil Kristal Hitam yang bersemayam di makam Zhun. Dan harus kau stabilkan pula Kristal tersebut sebelum akhirnya harus kau tambatkan pada Mimbar Surya…”
Menoleh Sang Putih ke arah di mana Matahari bersinar. Menunjuk ke aarah di mana Matahari berasal dari semacam gunung tinggi bercahaya teduh jauh di ujung mata.
Maka ku tatap puncak gunung yang sebenarnya bukanlah sebuah gunung, melainkan gundukan batu terjal nan luas yang menjulang tinggi menembus langit dengan puncaknya yang berkilauan indah.
Tertegun kagum aku menatapnya. Kagum mata ini menatap megahnya tempat di mana Matahari bersinggah di malam hari.
“Memang nampaknya tempat ini penuh dengan keganjilan-keganjilan yang sulit diterima nalar olehmu. Matahari yang padam di malam hari dan bertambat di puncak gunung, hingga akan kembali membentangkan sinarnya dari tempat itu pula saat pagi muncul. Membentang dari Mimbar Surya dan mulai secara perlhan mengitari Forbiden Dream. Dan nampaknya masih begitu banyak lagi hal-hal ganjil yang tak mudah kau pahami.” tutur Sang Rambut Emas yang kini juga menatap titik sama dengan yang jua aku tatap.
“Baiklah lupakan!... kita kembali ke makam Zhun!... di mana itu?”
Ku abaikan kini mimbar surya yang tak henti berkilauan. Mata ini sekejap menatap Sang Putih yang juga menyambutku dengan tatapannya.
“Tak perlu begitu jauh untuk mencapai makamnya. Sang Penghantar akan menghantar kita sampai pada makam kalian.”
Tatapan Sang Putih beralih dariku.kini ditatapnya Sang Penghantar yang saat itu pula mengangguk.
“Aku hanya akan menghantar beberapa di antara kita. Atau hanya Aku, Sang Putih, Sang Meredith, dan Sang Rambut Emas. Selain kami silakan melanjutkan hari kalian!”
Ketus dan datar tanpa ekspresi. Itulah caranya berbicara mengatakan kalimat. Terdengar begitu tidak ramah untuk namanya yang bergelar ‘Sang Penghantar’. Apa itu hanya nama?
“Bersiaplah!” pinta Sang Penghantar. Menjulurkan tangannya ke langit dan memejamkan matanya tatkala berkonsenterasi.
Maka kabut yang menyelubungi hutan ini kian menebal. Sebelumnya mata ini begitu ringan untuk menatap menembus kabut., namun kini benar-benar sulit untuk menatapnya lagi. Suasana berubah begitu hening. Angin yang semula menderu kini sirna. Sosok-sosok `gagahnya pepohonan hanya terlihat layaknya bayangan hitam oleh mata.
Aku saling berputar khawatir. Khawatir karena rasanya hanya tinggal aku sendiri dalam pekatnya kabut ini. Ku pandangi bayangan-bayangan hitam dari sosok para Atnaf yang saat ini bagaikan lenyap terkikis oleh sayatan. Kini aku hanya menangkap tiga Atnaf selain diriku di sini. Tentu saja melalui bayangan hitam mereka. Perlahan ku arahkan tatapan ini kepada sosok-sosok hitam pepohonan yang rasanya mulai saling berputar pada porosnya begitu perlahan. Dan bersambut dengan rotasi mereka, perlahan wujud mereka seolah terhisap kedalam tanah yang saat itu pula berubah begitu gersang. Sepertinya. Menyusulnya, tanah terasa mulai saling bergeser. Bergetar dan sebagian jauh di seputar tempat ini terangkat naik begitu tinggi menjadi tebing cokelat di tengah kabut yang mulai menipis. Entah tebing itu yang terangkat naik atau dataran yang aku pijaki ini yang tertarik ke bawah. Yang pasti kini mulai dapat ku lihat dengan jelas bahwa tempat ini begitu gersang dengan dikelilingi tebing-tebing curam yang jua tak luput dari kegersangan.
Saling bermunculanlah di sekitarku gundukan-gundukan tanah yang diikuti dengan munculnya makam-makam tua yang Nampak memilukan hati di antara kian sirnanya kabut.
Maka di tengah rasa terkejutku yang muncul oleh pergantian tempat ini, suatu perasaan asing muncul saat menatap tempat gersang dengan tebing-tebing yang tak kalah gersangnya. Menatap penuh hening aku ke arah makam tua yang ku lihat ada sepuluh. Ya… memang ada sepuluh makam tua dengan guratan-guratan yang membentuk sketsa wajah di setiap nisan.
“Merasakan sesuatu?...” Tanya Sang Putih memecah heningnya diri ini.
“”Entahlah… rasanya ada suatu perasaan yang…” ucapanku terpotong. Mata ini terpejam menyambut datangnya hembusan angin yang membelai ragaku. Merasakan munculnya ingatan-ingatan yang rasanya belum pernah aku alami selama ini. Tentang hal-hal yang berkaitan dengan tempat ini, tentang seseorang yang kurasa dia adalah Zhun. Entah mengapa ada perasaan hangat yang muncul saat melihat kilatan wajahnya.
“Sang Meredith!”
Panggilan bersahaja Sang Putih membuyarkan lamunku. Ku buka mata ini dan mendapati Sang Putih menunjuk ke suatu makam.
Dalam diam aku mulai melangkah. Tepat mengarah pada salah satu makam di mana tertambat suatu pedang berkarat di belakang nisannya. Makam yang semakin ku dekati, membuat semakin pula hati ini hangat. Hangat namun kini diimbuhi pedih yang mulai muncul.
Terhenti langkah ini di hadapan makamnya. Tersenyum lebar seolah mengenang suatu ingatan yang tiba-tiba saja muncul bersambut dengan hembusan angin yang menyibak rambut ini.
“Zhun!” panggilku pelan. Melihat dalam ingatanku saat di mana pria itu tersenyum padaku.
Terjatuh aku dalam posisi berlutut. Menghusap batu nisan Zhun yang mengguratkan sketsa wajah Zhun. Entah mengapa saat itulah perasaan hangat hati ini kembali muncul. Menenteramkan diri ini.
Sebenarnya siapa dia?... siapa dan apa hubungannya denganku?... kenapa perasaanku begitu hangat?... perlukah aku menanyakannya?...
Tersenyum aku kian lebar dalam terpejamnya mata ini. Dalam hangat ini.
“Sang Meredith!”
Suara Sang Putih kembali membuyarkan lamunku. Membuat mata ini terbuka dan kembali menatap nisan Zhun.
“Kenapa?... kenapa kalian tak menyebut nama kalian?... kenapa hanya menyebut… julukan atau apa pun itu?...”
Ku lirikkan mata ini ke arah tiga Atnaf di belakangku. “Tidakkah kalian bernama?... selain julukan kalian?...”
Ketiganya tak segera menjawab pertanyaanku. Saling menatap satu sama lain sebelum membiarkan Sang Putih Menjawabnya.
“Kami bernama, Wahai Sang Meredith. Tapi itu jauh lampau silam. Saat di mana dunia ini masih stabil.” terhenti alunan suaranya sesaat untuk menerawang ke masa lalunya. “Akan tetapi saat semua prahara ini berlangsung, hanya kau dan dia Sang Zhaf-lah yang berhak menyandang nama…”
“Zhaf?...”
Semakin terpicing mata ini menanti jawaban.
“Dia adalah putra dari Delaev yang kini bersemayam di hati busuk para Atnaf.” tutur Sang Rambut emas.
“Bersemayam?... tidakkah dia masih hidup?” tanyaku. Kini bahkan aku palingkan tubuh ini dari makam Zhun.
“Semenjak Delaev runtuh, Sang Zhaf yang menjadi perwujudan kekuatan dari Delaev terbenam dan bersemayam di setiap hati para Atnaf. Dia tidak benar-benar hidup apabila hidup yang kau maksud adalah seperti keadaan kita saat ini. Zhaf adalah wujud dari perpaduan kebusukan Delaev. Karenanya Zhaf adalah disebut putranya.” kembali Sang Putih menerawang. Kosong nampaknya kali ini ia menerawang. Menghela nafas panjang yang segera dibuangnya. “Pada mulanya, saat pertama kalinya kedamaian mendominasi, perwujudan dari Zhaf begitu lemah,… namun pada masa kini,… masa di mana begitu banyak iblis yang bermukim di dalam hati, perwujudannya kian begitu kuat.”
“Lalu pada akhirnya?...”
Ku benamkan kepala ini, menunduk penuh diam di hadapan nisan Zhun.
“Saat pada akhirnya,… kegelapan dan kebusukan hati semua Atnaf mendominasi, maka jiwa iblis Zhaf akan cukup kuat untuk bangkit,… dan ialah yang diramalkan akan meniadakan kehidupan ini…”
Angin berhembus begitu cepat menerpa kami. Cukup lama berhembus sebelum sirna menjadi ketiadaan.
“Lalu apabila dunia ini telah stabil, mungkinkah Zhaf dapat ditiadakan?”
Sesaat deru angin terasa kian kencang dari ketiadaan. Cukup kuat untuk membuat jubah para Atnaf berkelebat dalam heningku.
“Di satu sisi… ya…, di sisi lain ia akan tetap bangkit pada akhirnya.”
Terbelalak mata ini kala mendengarnya. Segera ku tatap Sang Putih usai ia mengucapkan kalimatnya. Sesaat mata kami bertemu.
“Apa… maksudnya?” tanyaku penuh heran. Dahi ini berkerut untuk memprjelas keherananku.
“Pada akhirnya Zhaf akan tetap muncul. Meski keseimbangan dunia berhasil dikembalikan, pada akhirnya Zhaf akan tetap meniadakan hidup ini. Itulah hal yang pasti terjadi.”
Sejenak aku menunduk, mencoba mencerna kata-kata Sang Putih yang nampaknya merujuk pada satu arti yakni ‘Kiamat’. Zhaf akan muncul dan menyesatkan para Atnaf. Tak cukup berbeda dengan munculnya Dajjal yang akan menyesatkan manusia di duniaku.
“Lalu apa yang harus aku la-“
“Hanya kau yang mengetahuinya… hanya kau yang mengetahui cara untuk meraih Kristal Hitam.”
Tegas Sang Penghantar memotong ucapanku. Membuat rasa penasaranku memuncak. Kutatap matanya yang jua menatapku.
“Maksudmu-”
“Kami hanya dapat membantumu sampai di sini. Kaulah yang akan melanjutkannya sendiri saat ini.”
Lagi Sang Penghantar memotong perkataan yang belum sepenuhnya kuucapkan. Membuat mata ini terpicing ke arahnya.
“Itu tidak adil… kalian yang membawaku sampai di tempat ini, tegakah kalian membiarkanku melangkah sendiri?”
Kutatap ketiganya bergantian. Mencoba mendapat jawaban yang melegakan dari mereka. Namun hanya keheningan yang mereka berikan padaku.
“Itu semua jauh di luar kehendak kami wahai Sang Meredith. Karena hanya sampai pada tempat ini kami dapat membantumu.”
Kubuang nafas kecewa ini. Memejamkan mata dan berpaling dari mereka untuk sejenak menghening. Dalam terpejamnya mata ini aku berpikir. Memutar otakku agar dapat mencari jawaban dari masalah ini.
“Maka hanya keajaiban yang mampu membantuku.”
Masih terpejam saat kuucapkan kalimat itu. Menyambutnya adalah hembusan angin yang membelai pelan raga ini. Perlahan kujulurkan tangan kananku ke depan. Mencoba menggapai nisan Zhun. Akan tetapi terkejut saat tangan ini menggapai sesuatu yang lain. Terkejut dalam mata yang terpejam kala sesuatu itu mampu kugenggam erat.
Maka kubuka cepat mata ini. Terkejut oleh apa yang ada dalam genggaman tanganku. Itu adalah gagang dari sebilah pedang yang tertambat di balik nisan Zhun. Tertegun raga ini kala secara mengejutkan mampu kurasa adanya arus energi yang berhembus dari bilahnya.
“Inikah jawabannya?”
[Continue reading...]

Senin, 10 Februari 2014

Risalah tujuh Neraka dan Sang Pemegang Kesucian

- 0 komentar
Tempat itu ada…….Adalah dunia di mana kita dapat tertawa… membiarkan kebahagiaan yang tak hentinya keluar di antara mulut-mulut yang terbuka…
Adalah dunia di mana kita merasa sedemikian aman dalam dekapan orang yang kita sayangi saat ketakutan muncul dalam hati…
Adalah dunia di mana kadang kita menangis… menangis tersendu dalam sunyinya suatu kesendirian…
Adalah dunia di mana kita belajar mencintai…
Adalah dunia di mana bahkan membenci seseorang pun terasa begitu indah…
Adalah dunia di mana kita begitu bebas ‘Hidup… dan mencintai…’
…..VLATERIIUM……
Sunyi...............................
Selain kesunyian yang merenggut ke segala penjuru, malam itu pun begitu gelap. awan hitam menggumpal sedemikian tebal menutup jutaan tabur bintang kota itu.
Fantasia... Itulah sebutan bagi kota dengan tingkat curah hujan paling tinggi di seisi Vlateriium.
Padat serta sibuknya penduduk Fantasia akan segera sirna ketika ujung senja menjamah kota itu…..
Seolah takut akan kegelapan, tak satu pun sisa-sisa dari aktivitas siang harinya tertinggal ketika matahari mulai bersembunyi.
Mungkin memang benar… mereka takut akan kegelapan malam… disebabkan oleh trauma mereka ketika suatu peristiwa mengerikan tentang kegelapan yang hamper saja merenggut kehidupan mereka beberapa tahun silam.
Begitu sedikitnya lampu-lampu jalan yang menyala menambah suramnya malam itu…
Dalam dekapan keheningan… ketika Guntur menyambar begitu keras,… dua orang berjubah putih berkerudung mereka terlihat menyusuri jalannan suram yang begitu minim cahaya. Keduanya mengambil langkah begitu pelan dengan tetap mempertahankan kesunyian mereka.
Sekejab cahaya dari lampu jalanan itu saling meredup… tak menghiraukannya kedua Jubah Putih itu terus melangkah.
Ujung jalanan yang begitu gelap terlihat seolah dihimpit oleh beberapa pohon beringin yang begitu mengerikan. Hingga ketika angin mencoba untuk saling menyusup di antara dedaunan lebatnya, suara gemersaknya sekejab mengusik keheningan.
Langkah keduanya lah yang mengusik keheningan ketika deru angin menjauh.
Dalam keheningan yang begitu mendekap erat itu… dari kejauhan mampu terdengar lolongan anjing yang begitu panjang dan mempersuram malam yang begitu gelap itu. Ketika perlahan lolongannya melemah, keheningan kembali menjamah tempat itu.
“Sebenarnya dimana Stewrd ingin kita menemuinya?...”
Suara dari seseorang berjubah putih itu lah yang kini mengusik keheningan.
“Yang pasti jauh dari tempat ini…”
Pria tua di balik Jubah Putihnya itu menjawab begitu pelan. Usianya berkisar 97 tahun dengan rambut putih kusamnya yang begitu tipis.
Kakek tua itu bernama Frankstein Lordezio Eight.
“Aku berharap ini benar-benar penting!...”
Suara Nenek tua berusia sekitar 94 tahun itu begitu melengking. Tubuhnya begitu kurus serta rambut kusamnya yang begitu panjang tersembunyi di balik Jubah Putihnya. Sebuah kacamata kusam berantai tergantung longgar di hadapan matanya.
Nenek tua itu bernama Zordius Snowlge.
Mereka terus melangkah begitu pelan dalam heningnya malam itu.
Ketika langkah pelan mereka itu mulai memasuki suatu perumahan yang begitu gelap serta suram, keheningan kembali pecah oleh anjing yang menyalak tak henti.
Angin mulai saling menderu begitu kencang beradu dengan suara anjing yang terus menyalak.
Langit yang begitu kelam mulai saling bergemuruh hingga dalam sekejap menurunkan hujan yang masih tergolong ringan ke segala penjuru Fantasia yang begitu kelam di malam hari.
Ketika dengan begitu keras petir menyambar… serta cahayanya yang sekilas menyinari kedua Jubah Putih itu, sekejap wujud mereka berdua sirna dalam cahaya petir yang juga musnah dalam kegelapan.
=================================================================================

Tempat ini tak kalah sunyi disbanding dengan kesunyian Fantasia malam itu. Langitnya yang penuh awan hitam begitu suram menjatuhkan butiran gerimisnya.
Angin saling beradu cepat untuk menyusup di antara dedaunan pohon yang mulai basah.
Lokasi ini begitu jauh dari suramnya Fantasia. Lokasi itu lah yang menjadi tujuan kedua Jubah Putih. Lokasi yang menjadi tujuan Pak Lordez serta Nenek Zord itu merupakan suatu hutan yang begitu gelap.
Di antara angin yang saling menyusup dalam dedaunan itu,… Di antara pepohonan hutan yang sedemikian sunyi itu,… langkah kaki seseorang terdengar begitu cepat hingga membuat heningnya malam itu semakin terusik.
Langkah kakinya terdengar semakin cepat ketika wujud Pak Lordez serta Nenek Zord terlihat di balik pepohonan.
“Pak Lordez!....” panggil seseorang berjubah putih dengan kerudungnya yang berlari di antara pepohonan hutan.
“Pak Lordez!....” panggil pria itu lagi dengan memperkeras teriakannya. Usianya berkisar 28 tahun, tubuhnya yang tegap it uterus berlari menyusup di antara pepohonan.
Sekilas dalam genggaman tangan kiri dia yang berlari memancarkan cahaya merah yang menyerupai bara api.
Pak Lordez serta Nenek Zord yang mampu mendengarnya menoleh terkejut ke arahnya.
“Steward!...” ucap Pak Lordez begitu lirih.
Stewrd yang berlari begitu tergesa itu terjatuh oleh akar pepohonan yang begitu besar tepat beberapa langkah di hadapan kedua Jubah Putih.
“Ada apa dengan mu?”
Kedua Jubah Putih itu mendekat serta membantu upaya Stewrd berdiri. Cahaya yang terus bersinar dalam genggaman lengan kirinya itu seolah terasa begitu menyakitkan oleh Steward.
Dalam nafasnya yang masih terengah-engah itu, ia mengibaskan lengan kirinya yang terasa semakin membakar genggamannya.
“Apa yang terjadi?... ada apa dengan mu?”
Suara Nenek Zord begitu melengking keras.
Seolah merasakan sesuatu yang melintas di belakangnya, Steward menoleh ke belakang dengan begitu terkejut. Akan tetapi hanya kekosongan yang ia temukan.
“Ada apa?...”
Steward yang mengacuhkannya menoleh curiga ke sekeliling tempat yang begitu gelap serta sunyi itu.
“Mereka mengikutiku… mereka disini… mereka mengawasi kita…”
Suara Stewrd begitu pelan disertai tatapannya yang berpust ke suatu arah.
Oleh hal itu Pak Lordez serta Nenek Zord mulai menoleh ke sekeliling.
“Karena itu cepatlah!... hal apa yang ingin kau smpaikan?...”
Kali ini suara Nenek Zord terkesan berbisik.
Steward memperdekat jaraknya terhadap kedua Jubah Putih itu dengan bisikan pelannya.
“Mereka kembali!...”
Petir dengan keras menyambar beriringan dengan angin yang mendesir semakin cepat hingga mengikut sertakan dedaunan yang terjatuh dari pohon dalam arusnya yang semakin cepat.
Mendengar bisikan Steward itu kedua Jubah Putih mengubah raut wajahnya.
“Apa?...apa maksudmu?”
“Atlanixta kembali!....”
Ucapan itu di akhiri dengan membuka genggaman tangan kirinya yang tak hentinya bercahaya merah.
Mampu terlihat di antara cahaya merah yang begitu terang beberapa guratan-guratan yang membentuk symbol Ankh dengan dua mata yang seolah menginta di balik simbal Ankh (ankh adalah salah satu symbol dalam mesir kuno yang berupa seperti salib). Seketika angin berhembus sedemikian kencang beriringan dengan munculnya suara bisikan-bisikan mengerikan yang saling beradu cepat dengan deru angin.
Akan hal itu Pak Lordez menoleh ke segala arah mengamati peristiwa itu dengan raut terkejutnya. Jubah putihnya itu tak henti berkibar oleh angin yang begitu kencang beserta bisikan-bisikan mengerikannya.
“Dari mana?... dari mana kau memperoleh symbol Atlanixta itu?”
Ia masih saja menoleh ke segala arah di ujung ucapannya tanpa berniat melirik Steward.
“Dari mana kau memperolehnya?...”
Kali ini ia bersedia menatap tajam Steward yang juga masih begitu terkejut oleh peristiwa itu.
Sesaat mereka membiarkan deru angin saling bebenturan dengan bisikan-bisikan mengerikan yang terus bermunculan.
“Saat dimana bulan sabit pertama kali muncul pada musim ini… saat itu aku tengah tertidur sebelum guncangan energy yang begitu kuat mampu kurasakan…”
Sesaat ucapannya terhenti ketika ia mampu mendengar suara berbisik yang begitu mengerikan di belakangnya.
“Lanjutkan!... jangan hiraukan apa pun itu!...”
Oleh ucapan Pak Lordez, Steward kembali menatap kedua Jubah Putih di hadapannya.
“Aku terbangun dan melangkah ke alam terbuka… saat itu gumpalan awan hitam sekejap menutup langit… sinar bulannya sontak memerah dan ketika awan hitam itu mampu menutupi bulan, sinar merahnya yang mampu menembus awan terlihat menyerupai symbol Atlanixta… guncangan energy yang terus terasa itu semakin kuat seiring munculnya lambang itu di awan. Aku mencoba menyusuri arah dari pusat guncangan energy itu hingga pada akhirnya aku sampai pada hutan ini.”
“Jadi kau mendapat symbol Atlanixta pada hutan ini?”
Dentuman yang tercipta oleh petir terdengar begitu keras hingga kilatan cahayanya sekilas menerangi mereka bertiga di antara deru angin yang tak jua usai.
“Tepatnya pada sebuah danau merah di tengah hutan ini…”
“Danau?...”
“Iya… ikuti aku! Akan ku tunjukkan!...”
Di akhir ucapannya ia mengambil langkah menuju pusat hutan yang terlihat lebih gelap dari tempat itu. Langkahnya begitu cepat di ikuti oleh kedua Jubah Putih.
Sekejap dalam tiadanya sinar yang menerangi tempat itu, meski begitu samar terlihatlah wujud sekelebatan bayangan hitam yang seolah berterbangan mengikuti mereka yang terus mempercepat langkahnya.
Dengan begitu keras petir kembali menyambar hingga sekilas cahayanya mengusir gelapnya malam itu.
Hujan yang begitu ringan itu perlahan mulai terasa deras. Seluruh dedaunan pada hutan yang begitu gelap kini telah sepenuhnya basah oleh air hujan kecuali dedaunan yang tersembunyi dalam rimbunnya hutan.
Langit tak hentinya bergemuruh akan tetapi petirnya masih saja enggan turun. Membiarkan kegelapan terus membelenggu seisi hutan.
[Continue reading...]

Rabu, 05 Februari 2014

Bagian akhir Sayap-sayap Dua Warna

- 0 komentar
Tubuh Violin terjatuh ke suatu tempat mungkin angkasa yang dipenuhi oleh semburan-semburan api. Dia terus membiarkan tubuhnya terjatuh menembus kobaran-kobaran api yang entah mengapa sama sekali tak membakarnya. Kobaran-kobaran api itu saling bergulung begitu membara dan menerjang tubuh Violin yang terus terjatuh ke bawah.“Di mana kau?... di mana kau?”
Pada akhirnya kobaran-kobaran api yang saling bergulung di sekitar Violin berubah menjadi gumpalan awan hitam pekat yang saling bergemuruh. Violin terus membiarkan dirinya terjatuh deras menyusuri gumpalan awan menuju daratan di bawah sana.
Dengan begitu keras halilintar berwarna merah menyambar dari kelabu awan, dan selang beberapa jeda, tubuh Violin telah terbebas dari awan dan terus terjatuh dengan cepat dari angkasa menuju daratan karang terjal dan membara di bawah sana. Kedua sayapnya tampak lemas dan melambai deras karena tabrakan dengan udara di langit suram itu.
“Aku datang,”
Violin memejamkan matanya dan terus membiarkan tubuhnya terjatuh deras menembus udara menuju daratan suram jauh di bawah sana.
“Di mana kau, Firelia?... di mana kau, Dhian?”
Violin membuka kedua matanya dan dalam terjun bebasnya itu dia mulai melambaikan kedua sayapnya, dan sedetik kemudian Violin membentangkan kedua sayapnya hingga tubuhnya terhenti di udara seiring dengan munculnya sebuah getaran dahsyat yang membentang dan menggemparkan penjuru tempat itu hingga tanah, udara, dan langit saling terguncang begitu dahsyat.
Seketika itu para Iblis yang tadinya terus menyerukan kehadiran Dhian, kini saling menatap langit saat merasakan getaran energi yang begitu kuat itu. Begitu pula Zulletri, Loukazt, dan Dhian yang masih berusaha mendaki tangga batu menuju sebuah puncak karang. Mereka saling menatap ke langit mencoba menyadari hal apa yang sedang terjadi.
Sementara itu di langit sana, Violin yang masih terhenti di udara dengan kedua sayapnya yang terbentang kembali mencuptakan sebuah hentakan energi yang kembali mampu mengguncangkan penjuru tempat suram itu, bahkan saking kuatnya tekanan dari guncangan tersebut beberapa tebing karang runtuh dan menimpa para Iblis yang menjerit ketakutan.
“Di mana kau, Dhian?”
Violin menatap lekat-lekat ke penjuru karang hitam mencoba mencari keberadaan Dhian, hingga akhirnya matanya berpusat pada satu titik yang berada jauh di ujung matanya.
“Aku datang!”
Dengan sekali kibasan sayap, Violin meluncur deras menuju tempat yang diyakiniya Dhian berada. Dia berteriak begitu keras di antara laju terbangnya hingga semua mata para Iblis kini tertuju kepadanya yang hanya terlihat bagaikan setitik warna hitam dari dasar karang.
“Dia?”
“Violin!” ucap Dhian yang secara samar menatap ke arah titik hitam yang kian mendekati kediamannya.
“Matilah dalam ketakutan kalian, Wahai Iblis!” teriak Violin lantang sambil mengibaskan samurainya ke arah daratan karang di bawahnya, dan sejurus kemudian tercipta suatu ledakan garis cahaya yang menjulur dan membelah daratan karang yang ada jauh di bawah Violin.
Jeritan ketakutan seketika itu pecah dan seluruh Iblis mulai berlarian saat ledakan garis cahaya itu mempu memporak-porandakan wilayah mereka. Sementara itu Zulletri yang menatapnya hanya mampu terdiam penuh tanya.
“Apa yang dia lakukan?” tanya Zulletri. Dia sudah berniat terbang ke arah Violin, namun Loukazt menahannya.
Violin yang terus melaju ke arah Dhian kembali berteriak dan mengibaskan samurainya hingga ledakan cahaya yang menggaris itu kembali tercipta pada daratan karang, hingga meruntuhkan tebing-tebing karang dan meninggalkan jejak parit yang dalam dan begitu panjang.
“Bagaimana dia melakukan itu? Bagaimana dia melanggar pembatasnya?” tanya Zulletri yang masih terdiam menatap apa yang kini dilakukan oleh Violin.
Saat itulah beberapa Iblis yang berwujud menyerupai pria dewasa bersayap terbang meluncur menuju Violin dengan pedang mereka. Mereka datang dari berbagai arah berusaha mengepung Violin yang tak sedikitpun acuh terhadap mereka.
“Pulanglah, Wahai Malaikat!” seru salah satu Iblis yang ada di hadapan Violin berusaha menghadangnya.
“Sayang sekali aku bukan Malaikat!” teriak Violin sambil menebas pedang dari Iblis yang terayun kepadanya. Seketika pedang Iblis itu hancur berkeping-keping, dan Violin segera menikam leher Sang Iblis, kemudian memenggal kepalanya.
Beberapa Iblis lain berdatangan dari arah yang berbeda mencoba menyusul Violin yang terus melaju ke arah Dhian. Violin yang sadar oleh kehadiran beberapa Iblis itu segera terhenti dan berpaling menatap para Iblis yang melancarkan tebasan mereka. Dalam sekali kibasan sayap, Violin mampu menghempas menjauh sosok-sosok Iblis tersebut. Dia segera terbang melesat menuju salah satu Iblis yang terhempas, dan dalam sekejap Violin telah ada di hadapan Iblis itu dengan sebuah tebasan yang memenggal pergelangan tangan sang Iblis yang menggenggam pedang. Sang Iblis merintih namun Violin segera menyayatkan sebuah tebasan pada Iblis itu hingga menghempas Iblis ke belakang dengan jeritannya. Violin yang telah mendapatkan nafsu membunuh lebih kuat, segera mengejar Iblis yang terhempas itu beserta berbagai sayatan yang dia hujamkan. Iblis yang tersayat tiada henti itu menjerit keras di antara tawa kejam Violin. Darah saling terciprat ke segela arah setiap kali samurai Violin menyayat Iblis.
Saat itulah Iblis lain yang tadinya terhempas, kini saling berterbangan dan mengepung Violin berusaha menyerangnya. Violin menebas Iblis yang dari tadi disiksanya hingga tubuh Iblis itu terbelah, dan dia segera menebas sosok Iblis yang ada di kanannya, lalu berpaling ke kiri di mana salah satu Iblis mengibaskan pedang ke arahnya. Violin segera menebas hancur pedang itu dan melancarkan sebuah tendangan yang menghempas sang Iblis. Violin berpaling ke belakang dan menebas kepala Iblis yang hendak menyerangnya hingga darah kembali terciprat dari samurai Violin, kemudian dia kembali berpaling menghadap sosok Iblis yang berusaha menebasnya, namun dengan mudah Violin menangkap bilah pedang yang terayun kepadanya dengan jemari tangan kirinya. Iblis itu terperangah dan saat itulah Violin menghujamkan tebasan pada ketiak kanan Iblis itu hingga memenggal tangannya. Seketika Iblis itu menjerit kesakitan namun Violin segera mencekik lehernya dan menghujamkan tikaman pada kepala Iblis yang meronta-ronta kesakitan di antara tawa lantang Violin. Violin mencabut tikamannya dan memenggal Iblis itu dan segera berpaling ke arah dua Iblis yang tersisa di hadapannya. Kedua Iblis itu berusaha menyerang Violin secara bersamaan namun Violin dengan cepat terbang melewati kedua Iblis itu dan sudah berada tepat di balik punggung salah satu Iblis. Dia menghujamkan tikaman ke kepala Iblis yang langsung menjerit kesakitan. Violin memperdalam tikamannya hingga bilah pedangnya mampu mengiris-iris otak Iblis yang terus meronta-ronta itu.
“Kurang ajar!” teriak Iblis yang ada di sebelah Violin sambil berusaha menebas Violin.
Violin mengibaskan samurainya yang masih menikam kepala Iblis ke atas, hingga samurainya merobek kepala itu, lalu Violin terbang ke belakang menghindari tebasan. Sedetik setelah tebasan itu gagal menghujamnya, Violin segera terbang ke arah Iblis itu dengan sebuah tikaman yang mampu menembus leher Iblis yang seketika menjerit kesakitan.
“Beberapa waktu lalu, kalian menjanjikan Kiamat bagi Bumi.” Violin memperdalam tikamannya hingga Iblis itu meronta-ronta di antara darah yang mengucur deras dari celah tikamannya. “Tapi saat ini aku datang kepada kalian. Dan menjanjikan Kiamat bagi kalian!” dengan nafsu membunuhnya yang semakin kuat, Violin mengibaskan samurainya yang masih menikam Iblis ke bawah, hingga tubuh Iblis itu terbelah menjadi dua.
Saat itulah Violin dikejutkan dengan teriakan penuh amarah dari sesosok Iblis yang terbang menuju Violin membawa sebuah pedang.
“Kau marah?... lalu apa kau pikir saat ini aku tidak marah?” dalam sekali kibasan sayap, Violin meluncur deras ke arah Iblis itu, hingga sekejap Violin telah mencekik leher Iblis itu dan membawanya terbang begitu cepat menuju Dhian. “Kemarahan kalian itu tak berarti apapun bagiku. Kemarahanku atas perbuatan kalian lebih besar dari segalanya.”
Violin menghunus ujung samurainya tepat ke mata Iblis itu, dan dengan kejam Violin menghujamkan samurainya pada mata sang Iblis hingga Iblis itu meronta-ronta kesakitan di antara tikaman Violin yang semakin dalam dan sadis. Violin melepas cekikannya lalu mengibaskan samurainya hingga sosok Iblis yang masih ditikamnya itu terhempas menyingkir bersimbah darah, kemudian Violin melanjutkan terbangnya menuju Dhian.
Seketika dari arah Dhian yang masih jauh dari laju Violin saling bermunculan wujud pudaran-pudaran hitam yang berterbangan ke arahnya, dan secara cepat wujud pudaran-pudaran hitam itu saling menyatu hingga mewujud menjadi puluhan Iblis kerangka busuk yang saling meraung meneriakkan ancaman mereka.
“Aku tak punya waktu untuk kalian!” teriak Violin sambil menebas hancur para Iblis yang berdatangan kepadanya. Lajunya sama sekali tak terhambat oleh puluhan Iblis yang mengepungnya itu. Dalam lajunya yang kian cepat, Violin terus menebas hancur wujud-wujud Iblis itu hingga kini benar-benar hilang.
“Dia bukan lagi Malaikat. Dia telah mengisikan Kenistaan pada dirinya hingga berubah menjadi makhluk itu,” ucap Loukazt sambil mencengkeram bahu Zulletri hingga Zulletri berpaling menatapnya.
Saat itu saling berdatangan beberapa Iblis yang menyerupai pria dewasa dengan sayap serta pedang mereka untuk mengitari Dhian, Loukazt, dan Zulletri.
“Kami akan melindungi kalian,” ucap salah satu dari para Iblis.
Loukazt segera menarik tubuh Zulletri mendekatinya dan melingkupkan jubah hitamnya kepada Zulletri, hingga tubuh kedua Iblis itu hilang menjadi kabut hitam, menyisakan kini hanya ada Dhian seorang yang dikelilingi Iblis penjaganya menantikan hadirnya Violin.
“Violin!” panggil Dhian lirih saat wujud Violin kian jelas terlihat olehnya.
Dua di antara Iblis yang menjaga Dhian membentangkan sayap mereka dan dengan begitu cepat keduanya terbang ke arah Violin yang berteriak penuh kebencian.
Violin menatap kedua Iblis yang datang mendekat itu baik-baik, dan kini tatapannya berpusat pada satu di antara keduanya. Dalam sekali kibasan sayap, Violin terbang melesat ke arah satu di antara kedua Iblis itu lalu menikam perut Iblis itu begitu dalam. Tanpa membuang waktu, Violin membawa Iblis dalam tikamannya itu menjauh, dan dalam lajunya Violin mencabut tikamannya kemudian kembali menikam Iblis itu, kali ini di dadanya. Iblis itu menjerit kesakitan namun Violin kembali mencabut tikamannya dan berulang kali menghujamkan tikaman samurainya ke sekujur tubuh Iblis yang terus dibawanya itu. Violin tertawa penuh kemenangan di antara jeritan-jeritan pilu sosok Iblis yang secara bertubi ditikamnya, hingga darah saling mengucur deras dari setiap hujaman kejam Violin.
“Lepaskan dia!”
Violin yang mendengar teriakan itu segera menikam dalam-dalam dada Iblis itu, mencekik erat lehernya dan mencabut tikamannya. Violin mengeratkan cekikannya hingga nafas dari Iblis yang sekarat itu tersendat, kemudian Violin mengiris rahang Iblis hingga si Iblis meronta kesakitan.
“Kurang ajar!”
Violin berpaling ke belakang dan mendapati Iblis yang datang kepadanya penuh amarah. Violin menyambut hadirnya Iblis itu dengan tawa kerasnya lalu dalam sekali kibasan samurai, tubuh Iblis itu tersayat dan mengucurkan darah yang begitu deras. Iblis itu meronta kesakitan, namun Violin segera menikam mata kiri Iblis itu hingga bilah samurainya menembus kepala sang Iblis.
Melihat hal itu, empat Iblis di antara Iblis-Iblis yang melindung Dhian segera terbang menuju Violin dan mereka terhenti beberapa rentang dari Violin yang menatap mereka dengan tatapan sombongnya. Violin menghunus samurainya yang masih menikam kepala Iblis ke arah empat Iblis di hadapannya yang saat itu menjulurkan tangan mereka dan menciptakan diagram Iblis yang seketika itu mengobarkan api yang begitu membara ke arah Violin.
“Cih!”
Violin mengibaskan samurainya hingga menghempas Iblis yang semula ditikamnya ke dalam api yang berokobar ke arahnya, dan dalam sebuah kibasan samurai, kobaran api yang terus berkobar menujunya itu saling terhempas ke segala arah beriring dengan pecahnya keempat diagram Iblis.
“Menangislah!” ucap Violin pelan. Dalam sekejap dia melesat ke arah salah satu Iblis dan menikam dadanya begitu dalam hingga Iblis itu merintih kesakitan. “Atau maaf! Tak kuizinkan kalian menangis!”
Saat itulah ketiga Iblis lain saling berteriak keras berupaya menyerang Violin yang mencabut tikamannya dan memenggal kepala Iblis itu. Violin berpaling ke arah ketiga Iblis serta menahan sebuah tebasan dengan samurainya, kemudian Violin menendang Iblis itu hingga terpelanting menjauh, dan saat itulah kedua Iblis lain mencoba menyerangnya dari depan dan belakang. Violin merundukkan tubuhnya sambil menebas perut Iblis di hadapannya, kemudian dia berbalik menatap Iblis di belakangnya dengan sebuah tikaman bertubi yang dia lancarkan hingga Iblis itu menjeritkan pedihnya. Violin berpaling ke arah Iblis yang ditebasnya tadi dan mengakhiri hidup Iblis itu dengan menebas kepala sang Iblis. Saat itulah Iblis yang tadi ditendangnya kembali dengan cepat menuju Violin, namun dengan segera Violin menikam leher Iblis itu hingga serangan sang Iblis gagal. Violin mengoyak leher sang Iblis dan mencabut tikamannya, kemudian mengibaskan samurainya beberapa kali hingga tubuh Iblis itu saling tercabik-cabik bahkan termutilasi.
Violin berpaling ke arah tangga batu jauh di hadapannya di mana di sana mampu dia tatap sosok Dhian yang dikelilingi oleh beberapa Iblis.
“Aku menjemputmu!”
Violin mengibaskan kedua sayapnya hingga dia terbang melesat ke arah Dhian yang saat itu hanya terdiam.
“Takkan kubiarkan,” ucap salah satu Iblis dan dengan cepat terbang ke arah Violin mencoba menghadang laju sosok yang bukan lagi Malaikat itu.
Dalam beberapa kali kibasan samurai yang menghujam Iblis itu, Violin mampu memutilasi sosok Iblis di hadapannya hingga organ-organ tubuh sang Iblis tercerai-berai dengan darahnya yang mengalir deras. Violin terbang begitu cepat menuju anak tangga jauh di bawah Dhian di mana di sana berdiri sesosok Iblis yang segera diterjangnya dan secara kejam mengiris-iris leher sang Iblis.
Violin bangkit, kemudian melangkah mendaki tangga batu ke arah Dhian, dan saat itulah sesosok Iblis dengan kapak di tangannya berlari menghampiri Violin berusaha menebasnya. Violin dengan segera menangkap pergelangan tangan kanan dari Iblis yang memegang kapak itu dengan tangan kirinya, hingga tebasan itu gagal menerjangnya. Violin menikamkan samurainya begitu dalam pada ketiak kanan Iblis itu hingga erangan kesakitan terdengar beriring dengan darah yang mengucur dari celah tikaman Violin. Violin memutar samurainya hingga kapak pada tangan kanan sang Iblis mampu direbut Violin dengan tangan kirinya dan Violin segera melemparkan kapak itu ke arah sosok Iblis yang mendekatinya hingga dengan telak mata kapak itu menerjang kepala Iblis yang mendekatinya itu hingga jatuh dan tersungkur di hadapan Violin. Violin mencabut tikaman samurainya, dan mencekik erat leher Iblis yang tadi ditikamnya, kemudian Violin menikam kepala Iblis itu. Iblis itu mengerang kesakitan lalu Violin segera mengiris-iris kepala sang Iblis sebelum kemudian Iblis itu jatuh tersungkur.
“Kurang ajar!”
Sosok Iblis lain berlari menuruni tangga mencoba menyerang Violin, namun Violin lebih cepat darinya. Dengan segera Violin menikam begitu dalam perut Iblis itu. Saat itulah Violin menyadari munculnya sosok Iblis yang melompat ke arahnya dari sisi kiri tangga batu. Violin mencabut tikamannya kemudian menebas tangan kanan Iblis yang tadi ditikamnya hingga pedang sang Iblis dengan mudah direbut Violin dan segera dilemparnya ke arah Iblis yang melompat menujunya hingga dengan telak pedang itu menikam jantung sang Iblis. Violin menebas kepala Iblis yang ada di hadapannya hingga jasad Iblis itu jatuh tersungkur, kemudian Violin merunduk untuk mencabut kapak pada kepala salah satu Iblis. Satu lagi Iblis berlari menuruni tangga menuju Violin yang saat itu melemparkan kapaknya hingga menghujam kaki Iblis yang berlari ke arahnya. Iblis itu mengerang dan terjatuh ke arah Violin yang segera menikam dagu sang Iblis hingga samurainya menembus ubun-ubun Iblis itu. Violin mencabut kapak pada kaki Iblis itu, dan segera menyadari adanya serangan dari belakang. Violin berpaling ke balakang ke arah dua Iblis yang mendaki tangga ke arahnya, namun dengan mudah Violin menebas dada salah satu Iblis dengan kapak di tangan kirinya, kemudian dengan samurainya, Violin menikam dada kanan Iblis yang satunya lagi. Iblis itu mengerang kesakitan dan meronta-ronta saat Violin memperdalam tikamannya.
“Merengeklah, Wahai Iblis!” ucap Violin sambil mengangkat samurainya yang masih menikam dada Iblis, hingga Iblis yang masih meronta-ronta itu terangkat ke udara.
Violin berpaling ke atas dan merentangkan samurainya yang masih menikam Iblis ke samping. Dengan perlahan Violin melangkah mendaki tangga ke arah Dhian yang hanya terjaga dua sosok Iblis. Di samurainya Iblis yang tertikam itu terus merintih dan mencoba meloloskan diri.
“Bawa Firelia menjauh!... aku akan menghadang makhluk ini,” ucap salah satu Iblis kepada Iblis lain yang ada di belakang Dhian.
Iblis yang diperintah itu sudah berniat menangkap Dhian, namun saat itulah kapak di tangan kiri Violin melayang dan menerjang kepala Iblis itu. Seketika satu Iblis yang tersisa selain yang ditikam Violin terkejut dan mencoba berlari ke arah Dhian, namun Violin segera mengibaskan samurainya hingga Iblis pada samurainya itu terhempas dan menabrak Iblis yang berlari ke arah Dhian. Violin kembali mengibaskan samurainya hingga segaris cahaya meluncur menyusuri tangga batu lalu menerjang kedua Iblis yang tersisa itu. Kini tersisalah Dhian seorang.
Violin mendaki dua-tiga kali anak tangga dan terhenti sekitar limabelas anak tangga di bawah Dhian. “Aku datang, Dhian,” ucap Violin sambil menjulurkan tangan kirinya kepada Dhian.
“Violin!” panggil Dhian dan dengan tergesa berlari menyusuri tangga ke arah Violin yang menyambutnya dengan tersenyum. Dhian terhenti di hadapan Violin dengan jarak dua anak tangga.
“Kau baik, Dhian?” Violin menepuk perlahan bahu kanan Dhian yang saat itu tersenyum dan mengangguk. “Lalu katakan padaku bahwa mereka belum mengubahmu menjadi Ratu mereka!” sambung Violin.
“Belum. Mereka sama sekali belum menyentuhku. Aku belum menjadi Ratu mereka, Violin,” balas Dhian dan saat itu terjatuh berlutut. “Karena itu cepat akhiri ini!... cepat bunuh aku!” pinta Dhian.
“Hey! Kejam sekali kau?” balas Violin. “Kau pikir aku repot-repot datang kemari hanya untuk membunuhmu?” sambungnya menyeringai.
“Lalu?”
“Aku punya pilihan lain selain membunuhmu, Dhian. Aku takkan berniat membunuhmu. Lagi.” Violin berpaling ke belakang dan menghela nafas yang cukup panjang.
“Violin?” panggil Dhian.
“Aku akan langsung membawamu ke Surga,” kata Violin sambil berpaling menatap Dhian dengan senyumnya. “Mari! Kuhantar kau ke Surga!” sambungnya dan menjulurkan tangan kirinya ke arah Dhian yang saat itu masih berlutut.
Perlahan Dhian berdiri dan menatap Violin yang tersenyum semakin lebar, kemudian Violin menjabat tangan kanan Dhian dengan jemari tangan kirinya. Menggenggamnya erat seolah enggan kehilangan gadis ini lagi.
Aku akan merindukanmu, Dhian. Akan sangat merindukanmu setelah ini. Violin memejamkan kedua matanya untuk merekam baik-baik memori ini. Karena setelah ini tak ada lagi kesempatan yang dapat membuatnya merasakan peristiwa ini lagi. Karena setelah ini Violin takkan lagi bisa bertemu dengan gadis di depannya itu.
“Hey!... kau kenapa?” Dhian yang tedinya menatap perkaitan tangannya dengan tangan Violin kini menatap wajah Violin yang begitu tenang. “Violin!” panggil Dhian lagi.
“Abaikan!” Violin membuka matanya dan menatap Dhian dalam damai.
Namun Dhian yang tadinya membalas tatapan Violin dengan tatapan ketidakmengertiannya, kini mengalihkan matanya dan menatap penuh keterkejutan kepada sesuatu yang begitu jauh di hadapannya.
“Violin! Sepertinya mereka takkan melepas kita begitu saja,”
Violin kembali berpaling ke belakang dan segera dikejutkan oleh apa yang dia tatap jauh di hadapannya. Terdapat ribuan nyala api dari obor-obor di tangan balatentara Iblis yang saling meraung-raung berlarian dan berterbangan ke arah mereka. Violin menelan ludahnya dengan kasar dan saat itulah angin kelam berhembus kencang menerpa mereka.
“Dhian! Maukah kau terbang bersamaku? Sekarang?” Violin tak menunggu jawaban dari Dhian dan langsung memeluk gadis itu erat, kemudian mengibaskan kedua sayapnya hingga mereka berdua terbang melesat meninggalkan tangga batu.
Saat itulah ribuan nyala api dari para Iblis yang berusaha mengejar Violin saling menyemburkan kobaran-kobaran api mereka hingga api saling bergulung menuju Violin dari segala penjuru.
“Sepertinya ini buruk, Vio—“
“Tutup matamu bila kau takut!” potong Violin sambil mengibaskan samurainya hingga api yang nyaris menerjangnya terbelah ke segela arah.
“Tak perlu kau suruh,” balas Dhian sambil menutup rapat kedua matanya.
Violin mengibaskan kedua sayapnya hingga membuatnya melesat meninggalkan api yang terhempas, namun saat itulah seluruh kobaran api yang dihempas Violin saling berterbangan menuju Violin yang terus melesat ke atas. Sejurus kemudian seluruh kobaran api saling bergulir dan membentuk sosok ular naga api yang meraung begitu keras dan terbang meliuk menuju Violin.
“Sial!” Violin berpaling ke kanan menghindari semburan api dari sosok ular naga api di bawahnya.
Dalam sekejap wujud ular api itu telah berada di sebelah Violin dan meliuk mengelilingi Violin yang saat itu menghentikan lajunya. Ular api itu meraung keras dan berusaha menerkam Violin, namun dengan segera Violin menebas dagu ular api hingga si ular api menjerit keras dan mengibaskan kepalanya ke atas. Mendapat kesempatan itu, Violin segera terbang menjauh dari tubuh ular api yang saat itu meraung semakin keras.
“Jadi suara apa itu?” teriak Dhian saat raungan ular api semakin keras lagi. Dhian enggan sedikitpun membuka matanya untuk menatap hal apa yang sedang terjadi.
“Kuharap kau tak mau tahu!” balas Violin.
Saat itulah ular api terbang meliuk dan menyusul Violin yang seketika itu menghentikan lajunya. Ular api itu menggeram dan menyemburkan kobaran apinya kepada Violin yang saat itu mengibaskan samurainya berkali-kali untuk menahan semburan api. Violin segera terbang ke kanan untuk menghindari terkaman dari ular api yang kini terbang meliuk menujunya. Violin juga segera meluncur deras menuju ular api yang saat itu membuka rahangnya lebar-lebar, dan dengan samurai yang dibentangkannya Violin menebas rahang ular itu, serta terus meluncur menyusuri tubuh ular hingga samurainya terus membelah tubuh sang ular. Ular itu menjerit keras begitu kesakitan saat tubuhnya mulai terbelah oleh Violin. Dalam pelukan Violin Dhian berteriak keras saat mendengar jeritan sang ular, juga karena tubuhnya terasa terbakar oleh panas dari sang ular api yang mulai melebur karena terbelah itu.
Violin mengibaskan samurainya hingga dalam sekejap wujud ular api itu melebur sepenuhnya menjadi kobaran-kobaran api yang terhempas ke segala arah, dan begitu api sirna Violin segera dikejutkan dengan adanya ribuan tombak berselimut api yang seolah terbang menujunya.
Alih-alih terbang menjauh, Violin justru terbang menyambut ribuan tombak itu dan menebas setiap tombak yang melesat ke arahnya bagaikan angin. Violin kini terhenti di udara dan disibukkan dengan ribuan tombak berapi yang saling melesat ke arahnya. Dengan cermat Violin menangkis setiap tombak itu menggunakan samurainya yang terus dia ayunkan.
Mereka sudah tak peduli lagi dengan Dhian?
Violin terus menebas setiap wujud tombak yang melesat ke arahnya, dan semua tebasannya begitu akurat hingga tak satu pun tombak yang menikamnya maupun Dhian. Puluhan tombak itu terus melesat ke arah Violin namun saat itu pula saling terhempas menjauh begitu menerima tebasan samurai Violin.
“Bisa beritahu apa yang sedang terjadi? Kenapa begitu banyak suara angin yang kudengar?”
“Berhentilah bertanya dan tetap menutup matamu!” balas Violin yang terus menangkis ribuan tombak.
Alih-alih menuruti perintah Violin, Dhian justru membuka matanya dan segera menjerit ketakutan begitu melihat hal apa yang sedang terjadi. Ribuan tombak berselimut api saling meluncur dan terhempas menyingkir di sekitarnya.
“Apa yang kau lakukan? Sudah kubilang tutup matamu!” hardik Violin sambil mengibaskan samurainya hingga menyingkirkan beberapa tombak yang datang.
“Violin!” panggil Dhian yang sepertinya menyadari sesuatu yang lebih mengerikan dari serbuan tombak itu.
Violin menepis puluhan tombak terakhir dan mengakhiri ancaman dari tombak-tombak itu, lalu Violin berbalik ke belakang di mana ribuan Iblis dengan pedang maupun kapak mereka berbondong-bondong terbang ke arahnya.
“Kali ini jangan bantah aku, Dhian! Tutup matamu!” ucap Violin lirih.
Dhian menurut, kemudian Violin berteriak begitu keras mengimbangi teriakan balatentara Iblis yang datang dari depan itu. Violin terbang melesat menuju pasukan Iblis itu sambil mengibaskan samurainya hingga tercipta sayatan udara yang melesat dan menyayat hancur barisan terdepan. Violin semakin mempercepat lajunya dan segera menyusup ke dalam pasukan Iblis dengan tebasan-tebasannya yang dengan telak mencabik-cabik puluhan Iblis. Dia terus melaju menembus pasukan Iblis dengan berbagai serangan yang dia lakukan hingga hujan darah Iblis tumpah ke daratan karang di bawah mereka.
Ribuan Iblis itu berusaha menghentikan laju Violin, namun semua yang berusaha menghadang Violin hanya akan tercabik-cabik oleh tebasan Violin.
Minggir!... aku harus segera menyerahkan Dhian kepada Ezhen!
Violin berteriak keras dan menebas puluhan Iblis di hadapannya, dan kini Violin terbang melesat ke atas dengan semua serangannya kepada Iblis-Iblis yang mencoba menahannya.
Sementara itu di bawah sana ribuan tentara Iblis lain saling membentuk formasi melingkar dan mereka mengobarkan api yang begitu membara ke pusat lingkaran mereka, hingga seluruh api saling berterjangan dan menciptakan gelegar dahsyat yang membahana ke penjuru tempat itu.
“Bangkitlah, Lucifer!” pekik salah satu Iblis diikuti oleh ribuan Iblis lain yang terus mengobarkan api ke pusat.
Violin yang tadinya tidak acuh akan hal yang ada di bawah sana kini mulai memperhatikannya. Dia terhenti di udara sambli terus mencabikkan tebasannya kepada pasukan Iblis yang kini tinggal ratusan.
“Bangkitlah, Lucifer!” ulang salah satu Iblis di bawah sana yang diikuti oleh ribuan Iblis lain.
Seketika itu dari pusat berterjangannya seluruh api, raungan mengerikan terdengar begitu keras beriring dengan samar-samar terlihatnya mata mengerikan di antara api.
Violin yang menyadarinya segera meluncur ke atas sambil terus menebas Iblis-Iblis yang saat itu hanya tersisa puluhan. Violin terbang menembus barisan Iblis dan menikam salah satu Iblis yang berusaha menghadangnya, kemudian dikoyaknya perut Iblis itu hingga tubuh sang Iblis jatuh ke bawah begitu cepat. Violin melanjutkan terbangnya menuju awan meninggalkan sekitar empatpuluh Sembilan Iblis yang tersisa di bawahnya.
“Bangkitlah, Lucifer!” pekik salah satu Iblis yang kembali diikuti ribuan Iblis lain.
Saat itulah raungan mengerikan pada pusat berterjangannya api kian keras beriring dengan munculnya sesosok ular raksasa berjumbai di kepalanya yang mengamuk di antara api. Ular itu memiliki dua tanduk hitam yang meliuk di kepalanya dan taring-taring tajam berliurkan maghma. Seluruh tubuh ular yang disebut Lucifer itu dipenuhi sisik-sisik duri berwarna hitam kemerahan yang tampak begitu tajam. Seketika itu sosok Lucifer yang masih bermandikan kobaran api dari ribuan Iblis segera menerkam beberapa Iblis di sekitarnya hingga secara perlahan tubuhnya kian membesar.
“Ya Tuhan!” ucap Violin yang saat itu terhenti di udara menatap sosok Lucifer yang mengamuk di antara api hingga wujudnya semakin bertambah raksasa.
“Apa lagi, Violin?” tanya Dhian.
“Tetap tutup matamu!” balas Violin sambil mengeratkan pelukannya terhadap Dhian.
Saat itulah sang Lucifer membuka lebar rahangnya dan menyemburkan jutaan liter maghma panas ke segala penjuru tempat itu hingga tsunami maghma tercipta. Bahkan ribuan Iblis yang membangkitkannya pun menjadi korban dari amukan sang ular setan itu. Seisi daratan karang itu kini berpijar dan membara oleh banjir maghma panas yang semakin meluas, dan saat itulah Lucifer meraung begitu keras serta memaku tatapannya ke arah Violin.
“Oh tidak, ini gawat,” ucap Violin dan bergegas meluncur ke atas menjauhi tempatnya tadi berdiam.
Saat itulah Lucifer kembali meraung dan menyemburkan maghma panasnya kepada Violin yang berada jauh di atasnya. Dalam sekejap semburan maghma itu sampai di bawah Violin, hingga Violin berpaling ke bawah dan mengibaskan samurainya untuk membelah semburan maghma itu. Maghma saling meluncur di sekitar Violin namun Violin berhasil lolos dari terjangan maghma itu.
“Violin, apa itu?.. panas sekali!” jerit Dhian.
Violin menghempas semua maghma itu, namun saat itulah sosok Lucifer menjulurkan tubuhnya begitu panjang hingga kepalanya berada tepat di hadapan Violin yang terkejut setengah mati. Tubuh Violin hanya bagaikan sebutir kelereng dibandingkan dengan sosok Lucifer yang saat itu meraung keras dan berusaha menerkam Violin. Dhian menjerit ketakutan oleh raungan itu. Violin segera terbang mundur menghindari terkaman Lucifer. Violin mengibaskan samurainya hingga sayatan udara tercipta dan menerjang rahang Lucifer, akan tetapi hal itu hanya membuat Lucifer semakin geram, dan kembali berupaya menerkam Violin. Violin terbang ke kanan melewati taring-taring tajam Lucifer dan selamat dari terkaman, kemudian dengan cepat Violin meluncur ke mata Lucifer dan menghujamkan tikaman samurainya pada mata itu. Lucifer meronta kesakitan dan jeritannya beradu dengan teriakan Violin yang terus mengoyak-oyak mata Lucifer. Dalam sekali kibasan kepala, tubuh Violin beserta Dhian yang terus dipeluknya terhempas dari mata Lucifer dan terpelanting tak terkendali ke belakang. Lucifer menggeram dan membuka rahangnya hingga aliran maghma muncul dan terbendung di sela kedua rahangnya, sebelum maghma itu disemburkan ke arah Violin dalam wujud bola maghma yang begitu membara. Violin yang menyadarinya segera membentangkan kedua sayapnya hingga dia terhenti, kemudian beriring teriakannya dia menebas hancur bola maghma itu sebelum sempat menerjangnya, namun sedetik kemudian Violin dikejutkan oleh munculnya rahang Lucifer yang berada tepat di hadappannya. Saking terkejutnya Violin tak sempat terbang ke belakang hingga Violin kini berada tepat pada mulut Lucifer yang nyaris tertutup. Violin segera mengibaskan samurainya untuk menyayat rahang atas Lucifer hingga membuat ular itu menjerit kesakitan dan segera membuka lebar rahangnya. Violin segera terbang keluar menghindari taring-taring panas Lucifer, dan kini dia berada tepat di kanan kepala ular yang menggeram kesal tersebut. Violin mengibaskan samurainya hingga sayatan udara terhempas menerjang kepala Lucifer yang saat itu semakin menggeram. Violin segera terbang mundur dan terhenti puluhan rentang dari Lucifer yang saat itu menggeram sambil berpaling ke arah Violin. Rahang ular itu sedikit terbuka dan liur-liur maghma saling mengalir deras dari taring-taringnya.
“Violin, apa yang sedang kau hadapi?”
“Tutup saja matamu!” balas Violin.
Saat itulah Lucifer meraung keras dan menjulurkan kepalanya ke arah Violin berusaha menerkamnya, akan tetapi Violin segera terbang mundur menghindari terkaman, dan dia segera menghujamkan tebasan samurainya kepada kepala Lucifer, sebelum tebasannya termentahkan oleh sedemikian kerasnya kepala Lucifer.
“Sial!”
Lucifer mengibaskan kepalanya hingga tubuh Violin serta Dhian terhempas begitu kencang ke belakang, lalu Lucifer menjulurkan kepalanya ke atas dan meliukkan kepalanya ke arah Violin dari atas berusaha menerkam Violin. Violin yang segera sadar akan hal itu, kemudian terbang ke bawah menghindari terkaman Lucifer yang saat itu terus menekan Violin ke bawah. Violin menebaskan samurainya berkali-kali terhadap taring-taring Lucifer yang terus menekannya ke bawah, namun setiap tebasan Violin yang menghujam bertubi itu termentahkan oleh taring-taring Lucifer. Violin menoleh ke bawah, dan di bawah sana Violin mampu menatap tubuh ular Iblis itu yang terjulur begitu panjang hingga kepalanya berada di atasnya. Tebasan-tebasan Violin masih saja menerjang sia-sia taring Lucifer yang saat itu menggeram hingga pada akhirnya membuka lebar rahangnya berusaha menerkam Violin, hingga Violin segera terbang ke kanan membiarkan kepala Lucifer meluncur dan menerkam kekosongan. Violin yang berada tepat di kanan kepala Lucifer segera menebas jumbai di kepala Lucifer hingag merobeknya, dan hal itu membuat Lucifer meronta kesakitan. Dengan segera Lucifer meliukkan kepalanya hingga menghadap Violin dan berusaha menerkamnya, namun Violin segera terbang mundur dan kali ini segera menebas kepala keras Lucifer hingga sayatan udara tercipta dan meluncur menyusuri kepala Lucifer hingga akhirnya menyayat salah satu Jumbai di kepala ular itu lagi. Lucifer kembali meronta kesakitan dan mengibaskan kepalanya ke atas hingga Violin terhempas begitu deras ke atas.
Di mana kau, Ezhen?
Lucifer menggeram penuh amarah dan menyemburkan nafas panasnya ke arah Violin di atas sana. Violin segera mengibaskan samurainya berkali-kali untuk menciptakan rongga udara di antara semburan nafas panas Lucifer. Saat itulah Lucifer menjulurkan kepalanya ke atas berusaha menerkam Violin yang saat itu terbang ke kiri menghindari terkeman sekaligus terbang menuju jumbai kiri Lucifer dan merobeknya dalam sekali tebas. Lucifer kembali menjerit keras, dan Violin segera terbang ke arah mata kiri Lucifer berusaha menerkamnya, akan tetapi sasaat sebelum ujung samurai Violin menghujamnya, Lucifer menutup kedua matanya hingga Violin menikam kelopak mata Lucifer yang begitu keras.
“Kurang ajar!”
Lucifer meraung dan mengibaskan kepalanya ke kiri hingga Violin dan Dhian yang masih ada di kepalanya terhempas begitu deras ke belakang. Lucifer membuka lebar kedua rahangnya dan menjulurkan kepalanya ke arah Violin yang masih terpelanting berusaha menerkamnya lagi. Dalam sekali bentangan sayap, Violin terhenti dan melancarkan sebuah tebasan yang saat itu berterjangan dengan taring-taring Lucifer. Entah apa yang tengah dipikirkan Violin hingga membuatnya mencoba untuk beradu dorong dengan sosok ular Iblis itu. Violin berteriak begitu keras dalam upayanya mendorong kepala Lucifer, biarpun demikian dalam sekali kibasan kepala Lucifer, Violin terpelanting ke belakang begitu kencang hingga Dhian nyaris terlepas dari pelukannya. Violin kembali membentangkan kedua sayapnya untuk terhenti dan segera menatap Lucifer yang menggeram penuh amarah. Violin menggenggam erat samurainya dan menekankan seluruh tenaganya kepada bilah samurai itu. Violin menggeram begitu keras untuk semakin menjejalkan tenaga pada bilah samurainya yang saat itu dia kibaskan ke arah Lucifer yang juga berusaha mendekatinya. Sejurus kemudian dari kibasan Violin muncul sebuah sabit udara yang melesat begitu cepat menuju kepala Lucifer yang semakin dekat dengannya, lalu tiba-tiba sabit udara itu berubah arah, meluncur sedikit ke bawah ke arah jumbai yang ada di sekitar leher Lucifer, dan dalam sekali terjangan, sabit udara itu mampu mencabik-cabik jumbai itu hingga Lucifer menjerit kesakitan dan mengibaskan kepalanya ke atas.
Violin kembali menghimpun seluruh tenaganya pada bilah samurainya, dan dengan sekali kibasan sayap Violin melesat bagaikan kilat dan kini berada tepat di atas kepala Lucifer yang masih menjerit kesakitan. Tanpa membuang waktu, Violin menebaskan samurainya yang penuh tenaga pada kepala keras Lucifer, hingga sebuah getaran terbentang begitu dahsyat dan menghempas kepala Lucifer ke bawah dalam rintihan-rintihannya.
“Ezhen!” panggil Violin lirih dan menolah ke atas.
Saat itulah seberkas cahaya muncul di antara kelabu awan dan menyinari Violin yang saat itu tersenyum. Dengan segera Violin terbang membawa Dhian yang masih dalam pelukannya menuju cahaya yang semakin terang itu, meninggalkan sosok Lucifer yang menggeram kesal di bawah sana.
“Buka matamu, Dhian!” pinta Violin dengan senyumnya.
Dhian menurut dan secara perlahan membuka matanya untuk menatap Violin yang masih tersenyum begitu lebar. Violin yang semula menatap langit di mana cahaya terus terpancar, kini menatap mata Dhian yang juga menatapnya dalam diam.
“Lihatlah aku baik-baik, Dhian! Ingatlah aku dan jangan pernah berniat melupakanku!” ucap Violin.
“Apa maksudmu?”
“Ikuti saja! Anggap ini permintaan terakhirku!”
“Violin?” panggil Dhian tak mengerti.
“Lihatlah! Sang Ezhen telah menjemputmu untuk ke Surga,” balas Violin sambil menatap cahaya yang semakin terang itu.
“Sang Ezhen?”
Violin terus mengibaskan kedua sayapnya untuk terbang menuju cahaya terang yang terhalau oleh kelabu awan itu, hingga akhirnya Violin mampu menyusup ke dalam cahaya dan terhenti.
“Mulai saat ini Sang Ezhenlah yang akan menuntunmu ke Surga, Dhian. Aku hanya bisa manghantarmu sampai di sini,”
“Apa maksudmu?” tanya Dhian.
Violin hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan Dhian. Violin menatap baik-baik mata indah gadis yang masih dipelukannya itu. Mata yang takkan pernah dilupakannya.
“Hey!” panggil Dhian saat pertanyaanya tak terjawab.
“Ingatlah selalu aku!” Violin menengadahkan kepalanya ke atas. “Sang Ezhen!” panggil Violin pelan.
Saat itulah sekumpulan cahaya di atas Violin dan Dhian saling terlihat membentuk dua tangan cahaya dan secara perlahan merebut Dhian dari Violin. Dhian terkejut kemudian berpaling mencari sosok yang saat itu terus mengangkat raganya dan sosok itu terlihat begitu terang dengan sayap putihnya yang begitu indah.
“Violin!” panggil Dhian yang terus terpisah dari Violin.
“Ingatlah selalu aku! Dan jangan menjadi pemberontak seperti halnya aku!” balas Violin dengan senyumnya untuk gadis yang semakin melayang tinggi di antara bentangan cahaya tersebut.
“Kau yang terberani yang pernah kutemui, Violin. Karena itu gunakanlah cahaya ini sesukamu!” ucap Ezhen yang saat itu menjulurkan tangan kanannya ke arah Violin, hingga cahaya yang begitu terang terjulur kepada Violin yang menerima cahaya dengan samurainya.
“Jaga dia, Sang Ezhen! Awas bila kau menyakitinya,” balas Violin, dia terus saja menerima pancaran cahaya dari Ezhen yang saat itu terbang menjauh membawa Dhian untuk pergi dari tempat itu.
Di bawah sana, Lucifer meraung keras dan menyemburkan jutaan liter maghma panasnya ke arah Violin, dan dengan teriakannya Violin menjulurkan samurai yang penuh cahayanya, hingga sebuah pilar cahaya terjulur begitu cepat dari samurai Violin dan menerjang semburan maghma serta menghempasnya menjauh. Pilar cahaya itu terus terpancar dan saat ini dengan telak menyambar rahang Lucifer dan terus terpancar menembus tubuh ular Iblis itu, hingga dalam sekejap sekujur tubuh Lucifer yang begitu panjang dan raksasa memancarkan cahaya terang yang terbendung dalam dirinya, sebelum pada akhirnya cahaya itu meledak begitu dahsyat dan terbentang ke segala arah beserta gelegar keras yang menenggelamkan raungan Lucifer yang saat itu terjatuh begitu deras ke bawah.
“Merintihlah di bawah kakiku, Wahai Iblis!” ucap Violin lirih sambil mengibaskan samurainya, hingga dalam seketika cahaya terpancar dan terbentang pada daratan karang jauh di bawahnya hingga menciptakan sebuah ledakan dahsyat yang saling meruntuhkan tebing-tebing karang di penjuru tempat itu beriring dengan cahaya yang semakin terang dan menyebar ke penjuru ledakan yang belum juga berakhir.
****
[Continue reading...]
 
Copyright © . Cerita Fiksi Terbaru - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger